Pembangunan Hutan Tani Rakyat dengan Pola Syariah

(Agustianto Mingka) Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Agustianto, mengusulkan pembiayaan hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikucurkan pemerintah menggunakan pola syariah mudharabah muqayyadah off balance sheet yang menjadikan bank sebagai konsultan atau arranger saja. Dengan pola ini, bagi hasil yang disetorkan kepada BLU (Badan Layanan Umum) Departemen Kehutanan selaku shahibul mal, bisa lebih murah, yaitu dengan fee 2 %.“Pola mudharabah muqayyadah off balance sheet jauh lebih murah biayanya jika dibandingkan pola on balance sheets atau pola syariah lainnya,” ujar Agustianto dalam seminar dan workshop bertema Pembiayaan HTR dengan Pola Syariah yang diselenggarakan BLU Dephut dan Forum Wartawan Kehutanan, kemarin di Hotel Bidakara Jakarta.

Murahnya pembiayaan itu, lanjutnya, disebabkan bank syariah tidak menanggung resiko macet dan tidak berkewajiban melakukan penagihan.. Dana pemerintah tidak masuk dalam pasiva bank syariah. Meskipun demikian, cicilan dapat disetor ke bank syariah yang menjadi mitra BLU Dephut.

Agustianto mengatakan pihak bank hanya bertindak sebagai konsultan yang memperoleh fee jasa sebesar 2%. “Namun tanggung jawab jika terjadi kredit macet dari para petani tetap berada pada Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) atau BLU Departemen Kehutanan,” katanya.

Menurut dia, pembiayaan pola mudharabah muqayyadah off balance sheet itu sebenarnya lembaga P3H berhubungan langsung dengan petani, tanpa menggunakan lembaga intermediasi . “Jika P3H menggunakan pihak ketiga secara on balance sheet atau perbankan konvensional sebagai mediator, maka costnya bagi petani,makin mahal, bias . mencapai 12%, Pahal harga margin dasar hanya 7 %. ” katanya.

Beban pembiayaan sebesar 12% yang diberlakukan bank konvensional tetap berdampak dalam penyaluran dana kepada para petani yang akan mengelola hutan tanaman rakyat tersebut. Hal itu memberatkan bagi petani.

Namun jika P3H tetap menginginkan pertanggungjawaban pihak bank syariah melalui pola mudharabah muqayyadah on balance sheet yang mana pihak bank tetap bertanggung jawab penuh, apabila terjadi risiko pengembalian dana pinjaman (kredit macet), maka biaya yang dibutuhkan untuk operasionalisasinya bisa lebih besar juga sebagaimana bank konvensional, yakni mencapai 12%. P3H tentu tidak mau harganya menjadi mahal seperti itu.
Selengkapnya...

DSN Akan Keluarkan Tiga Fatwa Baru


REPUBLIKA.CO.ID, DSN MUI akan mengeluarkan tiga fatwa baru. Tiga fatwa baru ini terkait pengelolaan dana tabarru di asuransi syariah, penggunaan sumber dana qard sebagai sarana untuk produk, dan aturan main saham syariah. Menurut anggota DSN MUI, Agustianto, untuk dana tabarru, DSN MUI akhirnya melegalkan pengembalian dana tabarru bagi nasabah yang putus kontrak asuransinya di tengah jalan.

Ia mengatakan, dalam fikihnya, dana tabarru sebenarnya merupakan dana yang sudah dihibahkan, jadi tidak boleh diambil kembali. Meski demikian, dana tabarru sendiri sebenarnya dibagi dua jenis. Meliputi dana tabarru yang dimaksudkan untuk sedekah karena Allah (liajlillah) dan tabarru yang dilakukan untuk tukar menukar (bisnis) (lil mu’awadhat). “Jadi, fatwa yang dikeluarkan berdasarkan jenis yang kedua,” ujarnya.Agustianto menjelaskan, dengan ini diharapkan asuransi syariah akan semakin kompetitif. Pasalnya, pengembalian dana ini biasa dilakukan di konvensional dan membuat nasabah membandingkan dengan asuransi syariah.

Selain fatwa tabarru dan qard, DSN MUI juga bakal mengesahkan fatwa mekanisme perdagangan efek atau semacam aturan main saham syariah dan jual beli saham di pasar modal. Ia menegaskan, DSN MUI melakukan ini agar pasar modal tidak menjadi spekulatif dan tidak produktif.

Menurut dia, sejauh ini terdapat sejumlah ramburambu syariah yang harus dipatuhi. Kriterianya ada sekitar 15 bentuk transaksi yang dilarang, antara lain, bukan untuk margin trading, missleading information. Serta transaksi seperti short selling atau membeli saham yang belum diterima lalu menjual kembali, jelasnya.
Selengkapnya...

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan Pengentasan Kemiskinan

(Agustianto Mingka) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa (16,7 persen). Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi sebesar itu, maka buruh yang mendapatkan upah sebesar Rp 450.000 per bulan sesuai dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tidak termasuk dalam kategori miskin. meskipun sesungguhnya mereka adalah kelompok kaum dhu’afa. Berbeda dengan kriteria BPS, catatan International Labour Organization (ILO), menunjukkan bahwa penduduk yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sebab, ILO memasukkan sejumlah komponen seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan lainnya (KHL, kebutuhan hidup layak). Seandainya BPS menggunakan kriteria miskin berdasarkan standar ILO, tentu jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dari angka yang disebutkan BPS, atau sekitar 100 juta jiwa.Angka tersebut semakin mendekati kebenarannya, ketika di tahun 2005 ini pemerintah menaikkan harga BBM dengan kenaikan yang tinggi yang berakibat pada naiknya harga-harga kebutuhan hidup dan melejitnya angka inflasi mencapai 18 % lebih.
Untuk mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah melalui Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang disebut Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan ini telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah (grass root) secara signifikan. Dalam satu dasawarsa pertama (1995 – 2005), di Indonesia telah tumbuh dan berkembang lebih dari 3.300 BMT, dengan asset lebih dari Rp 1 triliun, melayani lebih dari 2 juta penabung dann memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga pengelola sebanyak 21.000 orang. (Data Pinbuk, 2005).
Sekedar contoh, perlu dikemukakan di sini beberapa Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT) yang telah berkembang, antara lain, BMT Dinar di Karang Anyar memiliki asset Rp 31.milyard, jauh mengalahkan BPR Syari’ah manapun di sumut. Demikian juga BMT Ben Taqwa di Jawa Tengah, assetnya mencapai Rp 30 milyar, BMT Bina Usaha Sejahtera (di Lasem Jawa Tengah) Rp 28 milyar, BMT MMU (di Pasuruan Jatim) Rp 17 milyar, BMT Marhamah (Wonosobo), Rp 13 milyard, BMT Tumang (di Boyolali) Rp 4 milyard, BMT Baitur Rahman (di Bontang, Kaltim), Rp 6 milyar, BMT PSU Malang, Rp 5,6 milyar, dan banyak lagi BMT yang berasset di atas Rp 10 milyar, seperti di Yogyakarta. Kesuksesan BMT di Jawa dan Kalimantan tersebut perlu diteladani masyarakat muslim Sumatera Utara, agar gerakan pemberdayaan ekonomi ummat dapat diwujudkan.
Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.
Peran strategis BMT dalam mengurangi kemiskinan terlihat dari kegiatan ekonomi BMT yang mempunyai kegiatan sosial (Baitul Mal) dan kegiatan bisnis (at-Tamwil). Kegiatan sosial ekonomi BMT dilakukan dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal ini merupakan keunggulan BMT dalam mengurangi kemiskinan. Dengan menggunakan dana ZISWAF ini, BMT menjalankan produk pinjaman kebajikan (qardhul hasan).
Kegiatan sosial BMT ini dapat disebut sebagai upaya proteksi atau jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan masyarakat miskin secara signifikan, sebagaimana dinyatakan Amartya Sen (2000). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Di sinilah BMT berperan sebagai agent of asset distribution yang mampu memberdayakan ekonomi ummat. Fungsi sosial BMT ini, sekaligus akan dapat menciptakan hubungan harmonis antara dua kelas yang berbeda.
Dengan adanya pola pinjaman sosial (qardhul hasan) semacam ini, maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin, karena produk qardhul hasan, bersifat non profit oriented,
Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat.
Kegiatan bisnis yang dijalankan BMT jauh lebih unggul dari BPR (Bank Perkreditan Rakyat), karena BMT tidak saja bergerak dalam usaha simpan pinjam di sektor finansial, tetapi juga dapat menjalankan usaha sektor riil secara langsung.
Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.
Karena itu, tidak ada alasan saat ini bagi pemerintah daerah, hartawan muslim, ulama dan cendikiawan muslimuntuk tidak membangun dan mengembangkan BMT. Mereka seyogianya membangun BMT di setiap kecamatan, kalau perlu di kelurahan.
BMT sebagai lembaga ekonomi dan keuangan mikro syariah memiliki ciri-ciri: Pertama, BMT merupakan lembaga ekonomi yanag mandiri yang mengakar di masyarakat, Kedua, didirikan dengan semangat kejamaahan, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi masyarakat sendiri. Ketiga, Bentuk organisasinya sangat sederhana, Keempat, Para pendiri BMT minimal berjumlah 20 orang sebagaimana pada koperasi biasa. Kelima, BMT dikelola oleh manajer profesional yang dilatih untuk mengelola BMT. Ketujuh, sistem operasi BMT telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk manual atau pedoman kerja yang baku dan serupa antara BMT se-Indonesia. Kedelapan, BMT memiliki lembaga supervisi yang membina secara teknis pembukuan dan manajemen BMT, yaitu PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
Penutup
Lahirnya suatu BMT yang berdaya dan profesional, akan memungkinkan terwujudnya BMT sebagai agent of community development (agen pembangunan masyarakat) dan agent of asset distribution ((agen distribusi asset dari yang punya kepada yang tidak punya). BMT tumbuh sebagai institusi yang mampu memberdayakan umat, utamanya mengangkat derjat kaum dhuafa, menciptakan kesempatan kerja yang luas, membangun jaringan bisnis dan media pemerataan hasil pembangunan dan mampu menyediakan jasa keuangan yang efektif dan efisien bagi nasasabah bdan masyarakat.
=================================================================================Penulis adalah Dosen di berbagai Universitas Negeri di Indonesia konsentrasi Ekonomi Islam dan merupakan seorang trainer pada kegiatan Training Fiqih Muammalat on islamic Banking yang diadakan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) dan Iqtishod Consulting
Selengkapnya...

Mencetak SDM Bank Syariah yang Berkompeten

(Agustianto Mingka) Bank syariah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang demikian cepat. Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syari’ah, itu boleh dibilang luar bisa dengan tingkat pertiumbuhan 40 persen pertahun sejak tahun 2002. Sampai akhir Desember 2010, asset perbankan syariah sudah menembus angka Rp 100 triliun lebih. Saat ini market share perbankan syariah sudah mencapai 3,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 40 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika market share perbankan syariah 5 persen, dibutuhkan setidaknya 40 ribu SDM yang memiliki basis skills ekonomi keuangan syariah yang bermutu dan kompeten.Perkembangan spektakuler itu sangat mengembirakan, namun kehadiran bank-bank umum syariah dan pembukaan unit usaha syari’ah oleh bank konvensional, menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Salah satu masalah atau kendala yang dihadapi adalah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang memiliki kompetensi dan kualifikasi masih langka, baik di level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), maupun di level bawah..
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan yang spektakuler atau keberhasilan penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku/praktisi perbankan syariah itu sendiri, sehingga bank syari’ah bisa berjalan sesuai prinsip syari’ah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, praktisi perbankan syari’ah tidak hanya terfokus pada pengejaran target yang ditetapkan demi kepentingan shareholders, tetapi juga berkomitmen pada penerapan nilai-nilai syari’ah. Untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah dibutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) yang mampu menguasai syari’ah dan teknis perbankan.
Harus diakui bahwa SDI bank syari’ah yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah masih sangat langka. Kendala SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru, juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Diperkirakan 70 persen karyawan bank syariah saat ini berasal dari bank konvensional dan latar pendidikan non syariah.

Selain kebutuhan akan SDM di lembaga perbankan syariah, SDM ekonomi syariah juga sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah. Sejalan dengan kebutuhan di lembaga keuangan syariah, tentu yang paling penting lagi adalah kebutuhan akan lahirnya para entrepreneur syariah, sehingga terjadi keseimbangan antara sector keuangan dan sector riil syariah.
Hal ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan untuk menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Tingginya kebutuhan SDI bank syari’ah dan lembaga keuangan syariah ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat.
Peningkatan kuantitas jumlah dan asset bank syari’ah yang cepat tersebut, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas SDI syari’ah, hanya akan bersifat fatamorgana dan artifisial. Hal ini ini perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Selama ini praktisi perbankan syari’ah didominasi mantan praktisi perbankan konvensional yang hijrah kepada bank syari’ah atau berasal dari alumni perguruan tinggi umum yang berlatar belakang ekonomi konvensional. Umumnya mereka biasanya hanya diberi training singkat (2 minggu) mengenai ekonomi syari’ah atau asuransi syari’ah lalu diterjunkan langsung sebagai praktisi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagian mereka mengikuti training MODP atau MT (Management Training) selama satu bulan. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah, bahkan sampai kepada membangun militansi syariah. Selain itu materi ekonomi syari’ah tidak mungkin bisa dipelajari hanya dalam waktu 2 minggu atau 2 bulan.
Akibat pendidikan dan training yang singkat, maka tingkat pemahaman hukum syari’ah (fikih muamalah) menjadi minim. Short course singkat ini hanya memberikan kulit luar ekonomi syariah dan perbankan syariah secara instan dan dijamin lulus. Selanjutnya mereka langsung menjadi pemegang kendali dan menjadi decision maker semua kebijakan. Fit and proper test (Uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh BI untuk direksi bank syariah juga belum dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan direksi bank syariah yang benar-benar mempunyai ghirah dan kompetensi yang tinggi.
Minimnya skills dan kognisi (keilmuan) sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah ini menimbulkan dampak negatif yang serius, antara lain implementasi syariah Islam dalam perbankan menjadi tidak optimal Akibatnya lainnya ialah pengembangan produk-produk yang benar-benar memiliki landasan syariah yang kuat dan sekaligus memiliki keandalan bisnis menjadi terhambat. Padahal, idealnya pengembangan produk ini harus bisa membawa masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan.


Karena kurangnya pemahaman dan komitmen syari’ah, maka tidak jarang praktek bank syari’ah telah tercemar oleh budaya konvensioanl yang tidak syar’iy yang bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Para bankir syariah yang tidak berlatar belakang ilmu perbankan syariah ini hanya berkutat pada produk-produk konvensional, diberi imbuhan syariah dan dimodifikasi di sana-sini, selanjutnya dijual dengan label syariah. Jadi, pengembangan produk perbankan syariah hanya mencari-cari padanan dengan produk perbankan konvensional. Jika kecenderungan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan degradasi produk-produk perbankan syariah pada masa depan.
Sebenarnya, mantan praktisi bank konvensional yang menjadi praktis bank syari’ah tidak akan bermasalah jika mereka secara serius dan dengan segera mempelajari segala hal tentang bank syariah. Karena itu, pihak manajemen harus mengutamakan pelatihan syari’ah yang terus-menerus agar kemampuan syari’ah meningkat dan jiwa syari’ah menjadi tumbuh dan makin kuat. Selanjutnya para praktisi ini mempunyai confidence dan ghirah yang tinggi untuk menerapkannya, tanpa berkeluh-kesah soal kesulitan-kesulitan yang timbul ketika konsep perbankan syariah yang benar dioperasionalkan.
Setiap insan bank syariah seharusnya paham bahwa konsep perbankan syariah merupakan manifestasi dari konsep syari’ah. Memahami teknis perbankan saja tanpa memiliki kemampuan ilmu syari’ah yang memadai, akan mudah terjerumus kepada penyimpangan-penyimpangan syari’ah. Sebenarnya pada tahap-tahap awal, menimnya pengetahuan ilmu syari’ah ini bisa dimaklumi, tapi menjadi tidak wajar dan naif sekali, bila mereka kemudian malas belajar dan mengaggap persoalan tersebut secara enteng.
Mungkin karena merasa sudah pintar dan berpengalaman di bank konvensional membuat mereka, terutama yang ada di level atas, kurang serius mempelajari perbankan syariah. Akibatnya, ghirah yang dibutuhkan untuk memikul beban berat menjalankan sistem perbankan syariah tidak muncul. Maka, mengelola bank syariah, mereka sering mengeluarkan ’jurus-jurus’ konvensionalnya yang terkadang melanggar kepatuhan syariah. Memang berat menjadi seorang direktur bank syariah, sementara harus membawa organisasinya ke pencapaian visi dan misi yang idealis dan memikat umat Islam, tetapi kenyataannya target kuantitatiflah yang harus diutamakan.
Sementara itu, direktur bank syariah pun harus memuaskan pemilik yang belum tentu paham esensi, visi, dan misi perbankan syariah. Akibatnya, jangankan berpikir tentang tanggung jawab bank syariah sebagai agen perubahan ekonomi bangsa,berpikir bagaimana agar kinerja bisnis bank syariah dalam mencapai target yang digariskan oleh pemiliknya saja, sudah memusingkan kepalanya.
Beban target inilah yang akhirnya mendorong kebijakan-kebijakan bisnisnya terlalu berorientasi pada bisnis secara sempit sehingga semakin jauh dari visi dan misi bank syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya ditingkatkan malah semakin dijauhi oleh perbankan syariah dengan berbagai alasan yang sebenarnya mencerminkan sikap avers to risk dan avers to effort mereka. Padahal, produk mudharabah dan musyarakah adalah pembeda yang paling jelas dan sekaligus positioning yang baik bagi bank syariah ketika bersaing melawan bank konvensional.
Demi mengejar target, melanggar konsep syariah sedikit dianggap tak menjadi masalah. Padahal, dari sisi nasabah, bila dihadapkan pada preferensi (pilihan) antara bank syariah yang berkomitmen pada syari’ah dan bank yang tidak komit, maka nasabah akan cenderung memilih yang lebih baik praktek syariahnya. Padahal, kalau sudah konversi ke sistem syari’ah, has
Beberapa ekses yang sangat mungkin terjadi akibat fenomena tersebut adalah munculnya praktik-praktik haram, seperti manipulasi informasi, mau menerima hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya. Berbagai ekses tersebut sudah pasti akan mengancam reputasi perbankan syariah secara keseluruhan. Artinya, satu lembaga bank syari’ah yang melakukan kasalahan,maka seluruh bank syari’ah akan tercoreng.
Dari sisi inilah kiprah sesungguhnya perbankan syariah akan terkuak. Masyarakat memang tidak begitu paham apa itu bank syariah, tapi harap diingat bahwa masyarakat tidak salah bila berharap bahwa munculnya bank syariah akan memberikan berbagai solusi atas dampak negatif bank konvensional.
Pada masyarakat telah tertanam persepsi bahwa bank syariah pasti berbeda (walaupun tentu ada juga persamaannya), bahkan lebih tinggi kualitas moral, etika, dan sistem bisnisnya dibanding bank konvensional. Bila ternyata yang ditemui sama saja, bahkan lebih buruk dari bank konvensional, betapa bodohnya perbankan syariah yang telah menyia-nyiakan kepercayaan para stakeholder-nya dan tidak bersyukur atas kelapangan dan peluang besar yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Urgensi Perguran Tinggi Ekonomi Islam

Pada tataran teoritis dan konseptual, kita masih merasakan sangat kekurangan SDI yang benar-benar mendalami ilmu ushul fikih, fikih muamalah, qawa’id fikih dan sekaligus ilmu ekonomi keuangan modern. Figur seperti ini benar-benar langka bukan saja bagi masyarakat Islam di Indonesia melainkan juga di banyak negara termasuk negara lain yang perkembangan ekonomi Islamnya cukup pesat . Kebanyakan SDI LKS saat ini adalah mereka yang fasih berbicara tentang ilmu ekonomi keuangan kontemporer, tetapi awam dalam ushul fiqh atau fiqh muamalah. Sebaliknya banyak pakar yang mahir dalam Fikih dan Usul Fiqh tetapi kurang memahami (kalau tidak ingin mengatakan buta) tentang Ilmu Ekonomi Keuangan.

Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang ekonomi, bisnis dan hukum ekonomi syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. (SDI) ekonomi syari’ah,tidak boleh lagi bersifat bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini.

Sementara itu, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah pada umumnya menghadapi sejumlah kendala dalam upaya mengembangkan kualitas. Kendala itu antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif ilmu ekonomi, keuangan sekaligus ilmu syariah, (2) keterbatasan dari segi kurikulum pengajaran, kurikulum belum berbasis kepada kompetensi, (3) belum ada linkage antara lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan Syariah, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga research dan laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. Karena itu perlu adanya redesign tentang institusi kependidikan di Indonesia terutama di fakultas ekonomi dan syariah, agar dapat dihasilkan sarjana yang mempunyai skills tentang ekonomi syari’ah dan memiliki budi pekerti yang sesuai dengan syariah Islam dan applicable di sektor ekonomi.
Lembaga pendidikan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang berkualitas. Dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang setidaknya ada lima aspek yang perlu mendapat perhatian serius,
Pertama, Set kurikulum yang tepat; mengkombinasikan mata kuliah yang memberikan pengetahuan profesionalitas ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis dan pengetahuan syariah (hukum & aplikasi) serta nilai-nilai moral (akidah & akhlak)
 Kedua Tersedia sarana dan fasilitas belajar yang memadai; matrikulasi bahasa, laboratorium (bank, akuntansi dll)
 Ketiga, Staf pengajar yang kompeten dan berkualitas
 Keempat, Buku teks yang memadai (perpustakaan yang menyediakan buku dan litaratur ekonomi Islam)
 Kelima, Program pendukung seperti; magang, on-job training dsb.


Kualifikasi dan Standar SDM Ekonomi Syariah
• Memahami nilai-nilai moral dalam aplikasi fikih muamalah/ekonomi syariah
• Memahami konsep dan tujuan ekonomi Syariah
• Memahami konsep dan aplikasi transaksi-transaksi (akad) dalam muamalah ekonomi syariah
• Mengenal & memahami mekanisme kerja lembaga ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis syariah
• Mengetahui & memahami mekanisme kerja dan interaksi lembaga-lembaga terkait; - regulator, pengawas, lembaga hukum, konsultan – dalam industri ekonomi/keuangan/perbankan/ bisnis syariah
• Mengetahui & memahami hukum dasar baik hukum syariah (fiqh mumalah) maupun hukum positif yang berlaku
• Menguasai bahasa sumber ilmu, yaitu Arabic dan English

Penutup
Tidak bisa dibantah bahwa lembaga pendidikan, terutama Perguruan Tinggi ekonomi keuangan syariah, merupakan pihak yang bertanggung jawab dan paling menentukan dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang kompeten dan bermutu, Dengan demikan, dapat dikatakan berhasil tidaknya pengembangan lembaga keuangan syariah di masa yang akan datang tergantung kepada lembaga pendidikan ekonomi syariah itu sendiri.
Secara kuantitas, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini dilihat dari jumlah lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan ekonomi syariah saat ini masih sekitar 12.5% dari total pegawai yang bekerja di perbankan syariah saat ini.
Dalam pengembangan lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah, ada beberapa factor yang sangat signifikan, yaitu kurikulum, dosen yang berkualitas, sarana prasarana, literature dan labiratorium praktik. Dalam pengembangan kurikulum, setidaknya harus memiliki kurikulum berbasis kompetensi, yang mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komperhensif, Silabus fikih muamalah, ushul fikih, dan qawa’id fikih saat ini harus segera diubah dan diupdate disesuaikan dengan perkembangan industry perbankan dan keuangan syariah kontemporer. Para dosen yang mengajar di S1 dan S2, sebagian besar masih mengajarkan fikih secara teori yang tidak bias memecahkan problematika perbankan dan keuangan saat ini. Selain integrasi syariah dan keuangan kontemporer, kurikulum juga idealnya dibekali dengan ilmu-ilmu kuantitatif, statistica dan ekonometrika. serta mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Standar SDM yang dipaparkan di atas dapat dicapai melalui Perguruan Tinggi,ditambah lembaga-lembaga training.
Selengkapnya...

Argumentasi UU Sukuk dan Perbankan Syariah

(Agustianto Mingka) Saat ini, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan RUU Perbankan Syari’ah telah diagendakan DPR-RI untuk segera dibahas pada bulan April mendatang. RUU Perbankan syariah sudah sejak 6 tahun di siapkan dan telah diserahkan kepada pemerintah dan DPR RI. Demikian pula dengan RUU Sukuk (SBSN) sudah diserahkan pemerintah (Departemen Keuangan) kepada DPR untuk segera dibahas dan disahkan.Urgensi UU Ekonomi Syariah
Tak bisa dibantah bahwa Undang-undang memiliki peran penting dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.
Dalam konteks pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, peranan Undang-Undang sebagai landasan hukum dan regulasi tidak bisa ditawar-tawar. Ekonomi syariah sebagai praktik yang hidup di tengah masyarakat harus dipayungi oleh hukum sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum, mewujudkan keadilan dan menciptakan stabilitas di tengah masyarakat.
Saat ini ekonomi syariah berkembang pesat di tanah air. Namun regulasinya masih minim, bahkan regulasi tentang obligasi syariah negara belum ada sama sekali, sehingga peluang investasi Timur Tengah yang sangat potensial belum bisa masuk ke Indonesia, karena terhambat Undang-Undang. Singapura dan Malaysia dengan cerdas dan cepat menyediakan payung hukumnya, demikian pula sejumlah negara di Eropa, China dan India. Karena itu pemerintah mendukung sepenuhnya kelahiran Undang-Undang Sukuk (Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-Undang Perbankan Syariah. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tgl 16 Januari 2008 pada momentum Festival Ekonomi Syariah menyebutkan dengan jelas, dukungan dan keinginan pemerintah untuk segera menuntaskan Undang-Undang ekonomi syariah tersebut. Demikian pula sikap jelas dari Departemen Keuangan dan Menko Perekonomian.
Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah suatu keniscayaan. Kehadirannya didasarkan pada sejumlah argumentasi rasional dan komprehensif. Setidaknya ada 7 (tujuh) alasan rasional yang mendasari kelahirannya. yaitu 1. alasan filosofis, 2. yuridis, 3. sosiologis, 4. ekonomis, 5. historis, 6. fakta empiris dan 7. karakter doktrinal.
Tujuh Argumentasi
Pertama, Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral dan etis yang luhur dari sebuah bangsa. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai kebaikan dan bersifat universal, seperti nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanfaataan, kesusilaan, transparansi dan pertanggungjawaban. Penerapan ekonomi syariah didasari oleh nilai-nilai filosofis tersebut. Dengan demikian hukum ekonomi syariah menolak segala bentuk eksploitasi, penindasan, penipuan, korupsi, kebohongan dan kebatilan. Misi utama ekonomi syariah adalah tegaknya nilai-nilai akhlak dan moral dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan ataupun negara serta terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran secara adil.
Kedua, secara yuridis maksudnya, kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah didasarkan pada UUD 45. Jadi, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Hal ini mengandung tiga makna, yaitu:
a. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
c. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).
Melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasion
Ketiga, alasan sosiologis maksudnya ialah bahwa kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah merupakan kesadaran hukum masyarakat. Secara sosiologis, pelaku ekonomi menginginkan adanya Undang-Undang tersebut, maka ketentuan dan regulasi ekonomi syariah tentang perbankan dan obligasi negara merupakan pengejawantahan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Ekonomi syariah telah menjadi fenomena sosial yang faktual. Jadi, kehadiran kedua UU ekonomi syariah tersebut memiliki landasan sosiologis yang kuat. Kelahiran Undang-Undang Sukuk merupakan tuntutan masyarakat Indonesia tetapi bahkan masyarakat global.
Keempat, alasan ekonomis. Dengan diundangkannya RUU Sukuk (SBSN), maka aliran dana investasi ke Indonesia akan meningkat secara signifikan, baik dari Luar Negeri (utamanya Timur Tengah) maupun dalam negeri. Saat ini Timur Tengah memiliki potensi dana yang besar akibat lonjakan harga minyak dunia, paling tidak sebesar 1,2 triliun dolar US. Menolak RUU tersebut berarti menolak investasi masuk ke Indonesia dan itu berarti menolak kemajuan ekonomi bangsa. Harus disadari, bahwa tujuan ekonomi syariah adalah untuk kemaslahatan seluruh bangsa Indonesia, bukan kelompok tertentu. Semua komponen bangsa harus berbesar hati dan bergembira dengan kehadiran kedua Undang-Undang tersebut
Kelima, secara historis, pengundangan (legislasi) hukum syariah di Indonesia telah banyak terjadi di Indonesia, seperti UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang selanjutnya diamendemen UU No 3 Tahun 2006. Demikian pula UU tentang pengelolaan Zakat, UU Perwaqafan, dan UU Haji. Undang-Undang yang mengatur hukum untuk umat Islam saja dapat diterima DPR, apalagi Undang-Undang tentang ekonomi yang bertujuan untuk kebaikan, kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara secara universal, jelas semakin penting untuk diterima dan diwujudkan oleh siapapun yang terpanggil untuk kemajuan negara.
Keenam, fakta empiris. Secara faktual dan empiris sistem ekonomi syariah melalui perbankan telah terbukti menunjukkan keeunggulannya di masa-masa krisis, khususnya krisis yang diawali tahun 1997. Ketika semua bank mengalami goncangan hebat dan sebagian besar dilikuidasi, tetapi bank-bank syariah aman dan selamat dari badai hebat tersebut, karena sistemnya bagi hasil. Ajaibnya, bank syariah dapat berkembang tanpa dibantu sepeserpun oleh pemerintah. Sementara bank-bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras dana APBN dalam jumlah ratusan triliun melalui BLBI dan bunga obligasi.Hal itu berlangsung sampai saat ini dalam bentuk bunga obligasi rekap dan bunga SBI. Dana APBN itu adalah hak seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat terpaksa dikorbankan demi membela bank-bank sistem konvensional agar bisa bertahan. Perbankan syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi negara dan bangsa. Maka sangat tidak logis dan irrasional, jika ada pihak yang menolak kehadiran regulasi syariah.
Fakta empiris juga membuktikan bahwa ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga mengakomodasi sistem keuangan syariah. Bank-Bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, HSBC dan lain-lain, sejak lama telah menerapkan sistem syari’ah. Demikian pula ANZ Australia, juga telah membuka unit syari’ah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah.
Fakta itu sejalan dengan laporan the Banker, seperti dikutip info bank (2006) ternyata Bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok muslim, tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti United kingdom, USA, Kanada, Luxemburg, Switzerland, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Srilangka, Fhilipina, Cyprus, Virgin Island, Cayman Island, Swiss, Bahama, dan sebagainya. Sekedar contoh tambahan, di luxemburg, yang menjadi Managing Directors di Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non Muslim yaitu Dr. Ganner Thorland Jepsen dan Mr. Erick Trolle Schulzt.
Sejalan dengan praktik empiris tersebut, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di universitas-universitas Amerika dan negara Barat lainnya. Di antaranya, Universitas Loughborough di Inggris. Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia. Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama Harvard University Forum yang membahas tentang Islamic Finance. Malah, tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi Internasional Ekonomi Islam Ke-3.
Ketujuh, alasan doktorinal. Secara doktrinal, ekonomi syariah bersifat universal dan inklusif. Ekonomi syariah, bukan untuk agama Islam saja, tetapi untuk semua manusia. Universalitas ekonomi syariah karena ia mengajarkan keadilan, kejujuran, kebenaran, kerjasama, tolong menolng, dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Ekonomi Islam mengutuk sikap kezaliman, eksploitasi, penipuan, curang, korupsi, egois, memenrtingkan diri sendiri. Dalam memerangi riba (bunga/interest), misalnya, semua agama samawi memiliki ajaran yang sama, baik Islam, Yahudi dan Kristen, bahkan para filosof Yunani juga mengutuk sistem riba dalam perekonomian. Para pendeta di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kupang, Palu, Maluku, dan Menado mendukung dan menjadi nasabah bank-bank syariiah.
Penutup
Berdasarkan beberapa alasan dan argumentasi di atas maka tidak perlu ada yang takut (phobi) kepada ekonomi syariah, karena manfaat ekonomi syariah akan dinikmati oleh semua komponen rakyat di Indonesia, bahkan jika diterapkan di skala global, akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.
Selengkapnya...

Sponsor

Islamic Banking Bank Mandiri Syariah
BJB Syariah Pegadaian Syariah HSBC Amanah Bank DKI Syariah Cimb Niaga Syariah Bukopin Syariah Bank BTN Syariah BNI Syariah Al-Ijarah Bank BRI Syariah Bank Mandiri Syariah Takaful Bank Muamalat Jamkrindo BAZNAS Badan Wakaf Indonesia ASBISINDO Bank Sinar Mas Syariah ICDIF
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme