Pembangunan Hutan Tani Rakyat dengan Pola Syariah

(Agustianto Mingka) Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Agustianto, mengusulkan pembiayaan hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikucurkan pemerintah menggunakan pola syariah mudharabah muqayyadah off balance sheet yang menjadikan bank sebagai konsultan atau arranger saja. Dengan pola ini, bagi hasil yang disetorkan kepada BLU (Badan Layanan Umum) Departemen Kehutanan selaku shahibul mal, bisa lebih murah, yaitu dengan fee 2 %.“Pola mudharabah muqayyadah off balance sheet jauh lebih murah biayanya jika dibandingkan pola on balance sheets atau pola syariah lainnya,” ujar Agustianto dalam seminar dan workshop bertema Pembiayaan HTR dengan Pola Syariah yang diselenggarakan BLU Dephut dan Forum Wartawan Kehutanan, kemarin di Hotel Bidakara Jakarta.

Murahnya pembiayaan itu, lanjutnya, disebabkan bank syariah tidak menanggung resiko macet dan tidak berkewajiban melakukan penagihan.. Dana pemerintah tidak masuk dalam pasiva bank syariah. Meskipun demikian, cicilan dapat disetor ke bank syariah yang menjadi mitra BLU Dephut.

Agustianto mengatakan pihak bank hanya bertindak sebagai konsultan yang memperoleh fee jasa sebesar 2%. “Namun tanggung jawab jika terjadi kredit macet dari para petani tetap berada pada Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) atau BLU Departemen Kehutanan,” katanya.

Menurut dia, pembiayaan pola mudharabah muqayyadah off balance sheet itu sebenarnya lembaga P3H berhubungan langsung dengan petani, tanpa menggunakan lembaga intermediasi . “Jika P3H menggunakan pihak ketiga secara on balance sheet atau perbankan konvensional sebagai mediator, maka costnya bagi petani,makin mahal, bias . mencapai 12%, Pahal harga margin dasar hanya 7 %. ” katanya.

Beban pembiayaan sebesar 12% yang diberlakukan bank konvensional tetap berdampak dalam penyaluran dana kepada para petani yang akan mengelola hutan tanaman rakyat tersebut. Hal itu memberatkan bagi petani.

Namun jika P3H tetap menginginkan pertanggungjawaban pihak bank syariah melalui pola mudharabah muqayyadah on balance sheet yang mana pihak bank tetap bertanggung jawab penuh, apabila terjadi risiko pengembalian dana pinjaman (kredit macet), maka biaya yang dibutuhkan untuk operasionalisasinya bisa lebih besar juga sebagaimana bank konvensional, yakni mencapai 12%. P3H tentu tidak mau harganya menjadi mahal seperti itu.
Selengkapnya...

DSN Akan Keluarkan Tiga Fatwa Baru


REPUBLIKA.CO.ID, DSN MUI akan mengeluarkan tiga fatwa baru. Tiga fatwa baru ini terkait pengelolaan dana tabarru di asuransi syariah, penggunaan sumber dana qard sebagai sarana untuk produk, dan aturan main saham syariah. Menurut anggota DSN MUI, Agustianto, untuk dana tabarru, DSN MUI akhirnya melegalkan pengembalian dana tabarru bagi nasabah yang putus kontrak asuransinya di tengah jalan.

Ia mengatakan, dalam fikihnya, dana tabarru sebenarnya merupakan dana yang sudah dihibahkan, jadi tidak boleh diambil kembali. Meski demikian, dana tabarru sendiri sebenarnya dibagi dua jenis. Meliputi dana tabarru yang dimaksudkan untuk sedekah karena Allah (liajlillah) dan tabarru yang dilakukan untuk tukar menukar (bisnis) (lil mu’awadhat). “Jadi, fatwa yang dikeluarkan berdasarkan jenis yang kedua,” ujarnya.Agustianto menjelaskan, dengan ini diharapkan asuransi syariah akan semakin kompetitif. Pasalnya, pengembalian dana ini biasa dilakukan di konvensional dan membuat nasabah membandingkan dengan asuransi syariah.

Selain fatwa tabarru dan qard, DSN MUI juga bakal mengesahkan fatwa mekanisme perdagangan efek atau semacam aturan main saham syariah dan jual beli saham di pasar modal. Ia menegaskan, DSN MUI melakukan ini agar pasar modal tidak menjadi spekulatif dan tidak produktif.

Menurut dia, sejauh ini terdapat sejumlah ramburambu syariah yang harus dipatuhi. Kriterianya ada sekitar 15 bentuk transaksi yang dilarang, antara lain, bukan untuk margin trading, missleading information. Serta transaksi seperti short selling atau membeli saham yang belum diterima lalu menjual kembali, jelasnya.
Selengkapnya...

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan Pengentasan Kemiskinan

(Agustianto Mingka) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa (16,7 persen). Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi sebesar itu, maka buruh yang mendapatkan upah sebesar Rp 450.000 per bulan sesuai dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tidak termasuk dalam kategori miskin. meskipun sesungguhnya mereka adalah kelompok kaum dhu’afa. Berbeda dengan kriteria BPS, catatan International Labour Organization (ILO), menunjukkan bahwa penduduk yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sebab, ILO memasukkan sejumlah komponen seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan lainnya (KHL, kebutuhan hidup layak). Seandainya BPS menggunakan kriteria miskin berdasarkan standar ILO, tentu jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dari angka yang disebutkan BPS, atau sekitar 100 juta jiwa.Angka tersebut semakin mendekati kebenarannya, ketika di tahun 2005 ini pemerintah menaikkan harga BBM dengan kenaikan yang tinggi yang berakibat pada naiknya harga-harga kebutuhan hidup dan melejitnya angka inflasi mencapai 18 % lebih.
Untuk mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah melalui Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang disebut Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan ini telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah (grass root) secara signifikan. Dalam satu dasawarsa pertama (1995 – 2005), di Indonesia telah tumbuh dan berkembang lebih dari 3.300 BMT, dengan asset lebih dari Rp 1 triliun, melayani lebih dari 2 juta penabung dann memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga pengelola sebanyak 21.000 orang. (Data Pinbuk, 2005).
Sekedar contoh, perlu dikemukakan di sini beberapa Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT) yang telah berkembang, antara lain, BMT Dinar di Karang Anyar memiliki asset Rp 31.milyard, jauh mengalahkan BPR Syari’ah manapun di sumut. Demikian juga BMT Ben Taqwa di Jawa Tengah, assetnya mencapai Rp 30 milyar, BMT Bina Usaha Sejahtera (di Lasem Jawa Tengah) Rp 28 milyar, BMT MMU (di Pasuruan Jatim) Rp 17 milyar, BMT Marhamah (Wonosobo), Rp 13 milyard, BMT Tumang (di Boyolali) Rp 4 milyard, BMT Baitur Rahman (di Bontang, Kaltim), Rp 6 milyar, BMT PSU Malang, Rp 5,6 milyar, dan banyak lagi BMT yang berasset di atas Rp 10 milyar, seperti di Yogyakarta. Kesuksesan BMT di Jawa dan Kalimantan tersebut perlu diteladani masyarakat muslim Sumatera Utara, agar gerakan pemberdayaan ekonomi ummat dapat diwujudkan.
Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.
Peran strategis BMT dalam mengurangi kemiskinan terlihat dari kegiatan ekonomi BMT yang mempunyai kegiatan sosial (Baitul Mal) dan kegiatan bisnis (at-Tamwil). Kegiatan sosial ekonomi BMT dilakukan dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal ini merupakan keunggulan BMT dalam mengurangi kemiskinan. Dengan menggunakan dana ZISWAF ini, BMT menjalankan produk pinjaman kebajikan (qardhul hasan).
Kegiatan sosial BMT ini dapat disebut sebagai upaya proteksi atau jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan masyarakat miskin secara signifikan, sebagaimana dinyatakan Amartya Sen (2000). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Di sinilah BMT berperan sebagai agent of asset distribution yang mampu memberdayakan ekonomi ummat. Fungsi sosial BMT ini, sekaligus akan dapat menciptakan hubungan harmonis antara dua kelas yang berbeda.
Dengan adanya pola pinjaman sosial (qardhul hasan) semacam ini, maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin, karena produk qardhul hasan, bersifat non profit oriented,
Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat.
Kegiatan bisnis yang dijalankan BMT jauh lebih unggul dari BPR (Bank Perkreditan Rakyat), karena BMT tidak saja bergerak dalam usaha simpan pinjam di sektor finansial, tetapi juga dapat menjalankan usaha sektor riil secara langsung.
Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.
Karena itu, tidak ada alasan saat ini bagi pemerintah daerah, hartawan muslim, ulama dan cendikiawan muslimuntuk tidak membangun dan mengembangkan BMT. Mereka seyogianya membangun BMT di setiap kecamatan, kalau perlu di kelurahan.
BMT sebagai lembaga ekonomi dan keuangan mikro syariah memiliki ciri-ciri: Pertama, BMT merupakan lembaga ekonomi yanag mandiri yang mengakar di masyarakat, Kedua, didirikan dengan semangat kejamaahan, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi masyarakat sendiri. Ketiga, Bentuk organisasinya sangat sederhana, Keempat, Para pendiri BMT minimal berjumlah 20 orang sebagaimana pada koperasi biasa. Kelima, BMT dikelola oleh manajer profesional yang dilatih untuk mengelola BMT. Ketujuh, sistem operasi BMT telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk manual atau pedoman kerja yang baku dan serupa antara BMT se-Indonesia. Kedelapan, BMT memiliki lembaga supervisi yang membina secara teknis pembukuan dan manajemen BMT, yaitu PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
Penutup
Lahirnya suatu BMT yang berdaya dan profesional, akan memungkinkan terwujudnya BMT sebagai agent of community development (agen pembangunan masyarakat) dan agent of asset distribution ((agen distribusi asset dari yang punya kepada yang tidak punya). BMT tumbuh sebagai institusi yang mampu memberdayakan umat, utamanya mengangkat derjat kaum dhuafa, menciptakan kesempatan kerja yang luas, membangun jaringan bisnis dan media pemerataan hasil pembangunan dan mampu menyediakan jasa keuangan yang efektif dan efisien bagi nasasabah bdan masyarakat.
=================================================================================Penulis adalah Dosen di berbagai Universitas Negeri di Indonesia konsentrasi Ekonomi Islam dan merupakan seorang trainer pada kegiatan Training Fiqih Muammalat on islamic Banking yang diadakan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) dan Iqtishod Consulting
Selengkapnya...

Mencetak SDM Bank Syariah yang Berkompeten

(Agustianto Mingka) Bank syariah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang demikian cepat. Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syari’ah, itu boleh dibilang luar bisa dengan tingkat pertiumbuhan 40 persen pertahun sejak tahun 2002. Sampai akhir Desember 2010, asset perbankan syariah sudah menembus angka Rp 100 triliun lebih. Saat ini market share perbankan syariah sudah mencapai 3,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 40 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika market share perbankan syariah 5 persen, dibutuhkan setidaknya 40 ribu SDM yang memiliki basis skills ekonomi keuangan syariah yang bermutu dan kompeten.Perkembangan spektakuler itu sangat mengembirakan, namun kehadiran bank-bank umum syariah dan pembukaan unit usaha syari’ah oleh bank konvensional, menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Salah satu masalah atau kendala yang dihadapi adalah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang memiliki kompetensi dan kualifikasi masih langka, baik di level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), maupun di level bawah..
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan yang spektakuler atau keberhasilan penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku/praktisi perbankan syariah itu sendiri, sehingga bank syari’ah bisa berjalan sesuai prinsip syari’ah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, praktisi perbankan syari’ah tidak hanya terfokus pada pengejaran target yang ditetapkan demi kepentingan shareholders, tetapi juga berkomitmen pada penerapan nilai-nilai syari’ah. Untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah dibutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) yang mampu menguasai syari’ah dan teknis perbankan.
Harus diakui bahwa SDI bank syari’ah yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah masih sangat langka. Kendala SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru, juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Diperkirakan 70 persen karyawan bank syariah saat ini berasal dari bank konvensional dan latar pendidikan non syariah.

Selain kebutuhan akan SDM di lembaga perbankan syariah, SDM ekonomi syariah juga sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah. Sejalan dengan kebutuhan di lembaga keuangan syariah, tentu yang paling penting lagi adalah kebutuhan akan lahirnya para entrepreneur syariah, sehingga terjadi keseimbangan antara sector keuangan dan sector riil syariah.
Hal ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan untuk menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Tingginya kebutuhan SDI bank syari’ah dan lembaga keuangan syariah ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat.
Peningkatan kuantitas jumlah dan asset bank syari’ah yang cepat tersebut, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas SDI syari’ah, hanya akan bersifat fatamorgana dan artifisial. Hal ini ini perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Selama ini praktisi perbankan syari’ah didominasi mantan praktisi perbankan konvensional yang hijrah kepada bank syari’ah atau berasal dari alumni perguruan tinggi umum yang berlatar belakang ekonomi konvensional. Umumnya mereka biasanya hanya diberi training singkat (2 minggu) mengenai ekonomi syari’ah atau asuransi syari’ah lalu diterjunkan langsung sebagai praktisi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagian mereka mengikuti training MODP atau MT (Management Training) selama satu bulan. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah, bahkan sampai kepada membangun militansi syariah. Selain itu materi ekonomi syari’ah tidak mungkin bisa dipelajari hanya dalam waktu 2 minggu atau 2 bulan.
Akibat pendidikan dan training yang singkat, maka tingkat pemahaman hukum syari’ah (fikih muamalah) menjadi minim. Short course singkat ini hanya memberikan kulit luar ekonomi syariah dan perbankan syariah secara instan dan dijamin lulus. Selanjutnya mereka langsung menjadi pemegang kendali dan menjadi decision maker semua kebijakan. Fit and proper test (Uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh BI untuk direksi bank syariah juga belum dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan direksi bank syariah yang benar-benar mempunyai ghirah dan kompetensi yang tinggi.
Minimnya skills dan kognisi (keilmuan) sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah ini menimbulkan dampak negatif yang serius, antara lain implementasi syariah Islam dalam perbankan menjadi tidak optimal Akibatnya lainnya ialah pengembangan produk-produk yang benar-benar memiliki landasan syariah yang kuat dan sekaligus memiliki keandalan bisnis menjadi terhambat. Padahal, idealnya pengembangan produk ini harus bisa membawa masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan.


Karena kurangnya pemahaman dan komitmen syari’ah, maka tidak jarang praktek bank syari’ah telah tercemar oleh budaya konvensioanl yang tidak syar’iy yang bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Para bankir syariah yang tidak berlatar belakang ilmu perbankan syariah ini hanya berkutat pada produk-produk konvensional, diberi imbuhan syariah dan dimodifikasi di sana-sini, selanjutnya dijual dengan label syariah. Jadi, pengembangan produk perbankan syariah hanya mencari-cari padanan dengan produk perbankan konvensional. Jika kecenderungan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan degradasi produk-produk perbankan syariah pada masa depan.
Sebenarnya, mantan praktisi bank konvensional yang menjadi praktis bank syari’ah tidak akan bermasalah jika mereka secara serius dan dengan segera mempelajari segala hal tentang bank syariah. Karena itu, pihak manajemen harus mengutamakan pelatihan syari’ah yang terus-menerus agar kemampuan syari’ah meningkat dan jiwa syari’ah menjadi tumbuh dan makin kuat. Selanjutnya para praktisi ini mempunyai confidence dan ghirah yang tinggi untuk menerapkannya, tanpa berkeluh-kesah soal kesulitan-kesulitan yang timbul ketika konsep perbankan syariah yang benar dioperasionalkan.
Setiap insan bank syariah seharusnya paham bahwa konsep perbankan syariah merupakan manifestasi dari konsep syari’ah. Memahami teknis perbankan saja tanpa memiliki kemampuan ilmu syari’ah yang memadai, akan mudah terjerumus kepada penyimpangan-penyimpangan syari’ah. Sebenarnya pada tahap-tahap awal, menimnya pengetahuan ilmu syari’ah ini bisa dimaklumi, tapi menjadi tidak wajar dan naif sekali, bila mereka kemudian malas belajar dan mengaggap persoalan tersebut secara enteng.
Mungkin karena merasa sudah pintar dan berpengalaman di bank konvensional membuat mereka, terutama yang ada di level atas, kurang serius mempelajari perbankan syariah. Akibatnya, ghirah yang dibutuhkan untuk memikul beban berat menjalankan sistem perbankan syariah tidak muncul. Maka, mengelola bank syariah, mereka sering mengeluarkan ’jurus-jurus’ konvensionalnya yang terkadang melanggar kepatuhan syariah. Memang berat menjadi seorang direktur bank syariah, sementara harus membawa organisasinya ke pencapaian visi dan misi yang idealis dan memikat umat Islam, tetapi kenyataannya target kuantitatiflah yang harus diutamakan.
Sementara itu, direktur bank syariah pun harus memuaskan pemilik yang belum tentu paham esensi, visi, dan misi perbankan syariah. Akibatnya, jangankan berpikir tentang tanggung jawab bank syariah sebagai agen perubahan ekonomi bangsa,berpikir bagaimana agar kinerja bisnis bank syariah dalam mencapai target yang digariskan oleh pemiliknya saja, sudah memusingkan kepalanya.
Beban target inilah yang akhirnya mendorong kebijakan-kebijakan bisnisnya terlalu berorientasi pada bisnis secara sempit sehingga semakin jauh dari visi dan misi bank syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya ditingkatkan malah semakin dijauhi oleh perbankan syariah dengan berbagai alasan yang sebenarnya mencerminkan sikap avers to risk dan avers to effort mereka. Padahal, produk mudharabah dan musyarakah adalah pembeda yang paling jelas dan sekaligus positioning yang baik bagi bank syariah ketika bersaing melawan bank konvensional.
Demi mengejar target, melanggar konsep syariah sedikit dianggap tak menjadi masalah. Padahal, dari sisi nasabah, bila dihadapkan pada preferensi (pilihan) antara bank syariah yang berkomitmen pada syari’ah dan bank yang tidak komit, maka nasabah akan cenderung memilih yang lebih baik praktek syariahnya. Padahal, kalau sudah konversi ke sistem syari’ah, has
Beberapa ekses yang sangat mungkin terjadi akibat fenomena tersebut adalah munculnya praktik-praktik haram, seperti manipulasi informasi, mau menerima hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya. Berbagai ekses tersebut sudah pasti akan mengancam reputasi perbankan syariah secara keseluruhan. Artinya, satu lembaga bank syari’ah yang melakukan kasalahan,maka seluruh bank syari’ah akan tercoreng.
Dari sisi inilah kiprah sesungguhnya perbankan syariah akan terkuak. Masyarakat memang tidak begitu paham apa itu bank syariah, tapi harap diingat bahwa masyarakat tidak salah bila berharap bahwa munculnya bank syariah akan memberikan berbagai solusi atas dampak negatif bank konvensional.
Pada masyarakat telah tertanam persepsi bahwa bank syariah pasti berbeda (walaupun tentu ada juga persamaannya), bahkan lebih tinggi kualitas moral, etika, dan sistem bisnisnya dibanding bank konvensional. Bila ternyata yang ditemui sama saja, bahkan lebih buruk dari bank konvensional, betapa bodohnya perbankan syariah yang telah menyia-nyiakan kepercayaan para stakeholder-nya dan tidak bersyukur atas kelapangan dan peluang besar yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Urgensi Perguran Tinggi Ekonomi Islam

Pada tataran teoritis dan konseptual, kita masih merasakan sangat kekurangan SDI yang benar-benar mendalami ilmu ushul fikih, fikih muamalah, qawa’id fikih dan sekaligus ilmu ekonomi keuangan modern. Figur seperti ini benar-benar langka bukan saja bagi masyarakat Islam di Indonesia melainkan juga di banyak negara termasuk negara lain yang perkembangan ekonomi Islamnya cukup pesat . Kebanyakan SDI LKS saat ini adalah mereka yang fasih berbicara tentang ilmu ekonomi keuangan kontemporer, tetapi awam dalam ushul fiqh atau fiqh muamalah. Sebaliknya banyak pakar yang mahir dalam Fikih dan Usul Fiqh tetapi kurang memahami (kalau tidak ingin mengatakan buta) tentang Ilmu Ekonomi Keuangan.

Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang ekonomi, bisnis dan hukum ekonomi syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. (SDI) ekonomi syari’ah,tidak boleh lagi bersifat bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini.

Sementara itu, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah pada umumnya menghadapi sejumlah kendala dalam upaya mengembangkan kualitas. Kendala itu antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif ilmu ekonomi, keuangan sekaligus ilmu syariah, (2) keterbatasan dari segi kurikulum pengajaran, kurikulum belum berbasis kepada kompetensi, (3) belum ada linkage antara lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan Syariah, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga research dan laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. Karena itu perlu adanya redesign tentang institusi kependidikan di Indonesia terutama di fakultas ekonomi dan syariah, agar dapat dihasilkan sarjana yang mempunyai skills tentang ekonomi syari’ah dan memiliki budi pekerti yang sesuai dengan syariah Islam dan applicable di sektor ekonomi.
Lembaga pendidikan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang berkualitas. Dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang setidaknya ada lima aspek yang perlu mendapat perhatian serius,
Pertama, Set kurikulum yang tepat; mengkombinasikan mata kuliah yang memberikan pengetahuan profesionalitas ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis dan pengetahuan syariah (hukum & aplikasi) serta nilai-nilai moral (akidah & akhlak)
 Kedua Tersedia sarana dan fasilitas belajar yang memadai; matrikulasi bahasa, laboratorium (bank, akuntansi dll)
 Ketiga, Staf pengajar yang kompeten dan berkualitas
 Keempat, Buku teks yang memadai (perpustakaan yang menyediakan buku dan litaratur ekonomi Islam)
 Kelima, Program pendukung seperti; magang, on-job training dsb.


Kualifikasi dan Standar SDM Ekonomi Syariah
• Memahami nilai-nilai moral dalam aplikasi fikih muamalah/ekonomi syariah
• Memahami konsep dan tujuan ekonomi Syariah
• Memahami konsep dan aplikasi transaksi-transaksi (akad) dalam muamalah ekonomi syariah
• Mengenal & memahami mekanisme kerja lembaga ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis syariah
• Mengetahui & memahami mekanisme kerja dan interaksi lembaga-lembaga terkait; - regulator, pengawas, lembaga hukum, konsultan – dalam industri ekonomi/keuangan/perbankan/ bisnis syariah
• Mengetahui & memahami hukum dasar baik hukum syariah (fiqh mumalah) maupun hukum positif yang berlaku
• Menguasai bahasa sumber ilmu, yaitu Arabic dan English

Penutup
Tidak bisa dibantah bahwa lembaga pendidikan, terutama Perguruan Tinggi ekonomi keuangan syariah, merupakan pihak yang bertanggung jawab dan paling menentukan dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang kompeten dan bermutu, Dengan demikan, dapat dikatakan berhasil tidaknya pengembangan lembaga keuangan syariah di masa yang akan datang tergantung kepada lembaga pendidikan ekonomi syariah itu sendiri.
Secara kuantitas, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini dilihat dari jumlah lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan ekonomi syariah saat ini masih sekitar 12.5% dari total pegawai yang bekerja di perbankan syariah saat ini.
Dalam pengembangan lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah, ada beberapa factor yang sangat signifikan, yaitu kurikulum, dosen yang berkualitas, sarana prasarana, literature dan labiratorium praktik. Dalam pengembangan kurikulum, setidaknya harus memiliki kurikulum berbasis kompetensi, yang mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan materi kuliah ekonomi keuangan secara komperhensif, Silabus fikih muamalah, ushul fikih, dan qawa’id fikih saat ini harus segera diubah dan diupdate disesuaikan dengan perkembangan industry perbankan dan keuangan syariah kontemporer. Para dosen yang mengajar di S1 dan S2, sebagian besar masih mengajarkan fikih secara teori yang tidak bias memecahkan problematika perbankan dan keuangan saat ini. Selain integrasi syariah dan keuangan kontemporer, kurikulum juga idealnya dibekali dengan ilmu-ilmu kuantitatif, statistica dan ekonometrika. serta mengintegrasikan antara teori dengan praktik. Standar SDM yang dipaparkan di atas dapat dicapai melalui Perguruan Tinggi,ditambah lembaga-lembaga training.
Selengkapnya...

Argumentasi UU Sukuk dan Perbankan Syariah

(Agustianto Mingka) Saat ini, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan RUU Perbankan Syari’ah telah diagendakan DPR-RI untuk segera dibahas pada bulan April mendatang. RUU Perbankan syariah sudah sejak 6 tahun di siapkan dan telah diserahkan kepada pemerintah dan DPR RI. Demikian pula dengan RUU Sukuk (SBSN) sudah diserahkan pemerintah (Departemen Keuangan) kepada DPR untuk segera dibahas dan disahkan.Urgensi UU Ekonomi Syariah
Tak bisa dibantah bahwa Undang-undang memiliki peran penting dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.
Dalam konteks pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, peranan Undang-Undang sebagai landasan hukum dan regulasi tidak bisa ditawar-tawar. Ekonomi syariah sebagai praktik yang hidup di tengah masyarakat harus dipayungi oleh hukum sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum, mewujudkan keadilan dan menciptakan stabilitas di tengah masyarakat.
Saat ini ekonomi syariah berkembang pesat di tanah air. Namun regulasinya masih minim, bahkan regulasi tentang obligasi syariah negara belum ada sama sekali, sehingga peluang investasi Timur Tengah yang sangat potensial belum bisa masuk ke Indonesia, karena terhambat Undang-Undang. Singapura dan Malaysia dengan cerdas dan cepat menyediakan payung hukumnya, demikian pula sejumlah negara di Eropa, China dan India. Karena itu pemerintah mendukung sepenuhnya kelahiran Undang-Undang Sukuk (Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-Undang Perbankan Syariah. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tgl 16 Januari 2008 pada momentum Festival Ekonomi Syariah menyebutkan dengan jelas, dukungan dan keinginan pemerintah untuk segera menuntaskan Undang-Undang ekonomi syariah tersebut. Demikian pula sikap jelas dari Departemen Keuangan dan Menko Perekonomian.
Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah suatu keniscayaan. Kehadirannya didasarkan pada sejumlah argumentasi rasional dan komprehensif. Setidaknya ada 7 (tujuh) alasan rasional yang mendasari kelahirannya. yaitu 1. alasan filosofis, 2. yuridis, 3. sosiologis, 4. ekonomis, 5. historis, 6. fakta empiris dan 7. karakter doktrinal.
Tujuh Argumentasi
Pertama, Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral dan etis yang luhur dari sebuah bangsa. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai kebaikan dan bersifat universal, seperti nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanfaataan, kesusilaan, transparansi dan pertanggungjawaban. Penerapan ekonomi syariah didasari oleh nilai-nilai filosofis tersebut. Dengan demikian hukum ekonomi syariah menolak segala bentuk eksploitasi, penindasan, penipuan, korupsi, kebohongan dan kebatilan. Misi utama ekonomi syariah adalah tegaknya nilai-nilai akhlak dan moral dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan ataupun negara serta terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran secara adil.
Kedua, secara yuridis maksudnya, kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah didasarkan pada UUD 45. Jadi, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Hal ini mengandung tiga makna, yaitu:
a. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;
c. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).
Melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasion
Ketiga, alasan sosiologis maksudnya ialah bahwa kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah merupakan kesadaran hukum masyarakat. Secara sosiologis, pelaku ekonomi menginginkan adanya Undang-Undang tersebut, maka ketentuan dan regulasi ekonomi syariah tentang perbankan dan obligasi negara merupakan pengejawantahan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Ekonomi syariah telah menjadi fenomena sosial yang faktual. Jadi, kehadiran kedua UU ekonomi syariah tersebut memiliki landasan sosiologis yang kuat. Kelahiran Undang-Undang Sukuk merupakan tuntutan masyarakat Indonesia tetapi bahkan masyarakat global.
Keempat, alasan ekonomis. Dengan diundangkannya RUU Sukuk (SBSN), maka aliran dana investasi ke Indonesia akan meningkat secara signifikan, baik dari Luar Negeri (utamanya Timur Tengah) maupun dalam negeri. Saat ini Timur Tengah memiliki potensi dana yang besar akibat lonjakan harga minyak dunia, paling tidak sebesar 1,2 triliun dolar US. Menolak RUU tersebut berarti menolak investasi masuk ke Indonesia dan itu berarti menolak kemajuan ekonomi bangsa. Harus disadari, bahwa tujuan ekonomi syariah adalah untuk kemaslahatan seluruh bangsa Indonesia, bukan kelompok tertentu. Semua komponen bangsa harus berbesar hati dan bergembira dengan kehadiran kedua Undang-Undang tersebut
Kelima, secara historis, pengundangan (legislasi) hukum syariah di Indonesia telah banyak terjadi di Indonesia, seperti UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang selanjutnya diamendemen UU No 3 Tahun 2006. Demikian pula UU tentang pengelolaan Zakat, UU Perwaqafan, dan UU Haji. Undang-Undang yang mengatur hukum untuk umat Islam saja dapat diterima DPR, apalagi Undang-Undang tentang ekonomi yang bertujuan untuk kebaikan, kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara secara universal, jelas semakin penting untuk diterima dan diwujudkan oleh siapapun yang terpanggil untuk kemajuan negara.
Keenam, fakta empiris. Secara faktual dan empiris sistem ekonomi syariah melalui perbankan telah terbukti menunjukkan keeunggulannya di masa-masa krisis, khususnya krisis yang diawali tahun 1997. Ketika semua bank mengalami goncangan hebat dan sebagian besar dilikuidasi, tetapi bank-bank syariah aman dan selamat dari badai hebat tersebut, karena sistemnya bagi hasil. Ajaibnya, bank syariah dapat berkembang tanpa dibantu sepeserpun oleh pemerintah. Sementara bank-bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras dana APBN dalam jumlah ratusan triliun melalui BLBI dan bunga obligasi.Hal itu berlangsung sampai saat ini dalam bentuk bunga obligasi rekap dan bunga SBI. Dana APBN itu adalah hak seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat terpaksa dikorbankan demi membela bank-bank sistem konvensional agar bisa bertahan. Perbankan syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi negara dan bangsa. Maka sangat tidak logis dan irrasional, jika ada pihak yang menolak kehadiran regulasi syariah.
Fakta empiris juga membuktikan bahwa ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga mengakomodasi sistem keuangan syariah. Bank-Bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, HSBC dan lain-lain, sejak lama telah menerapkan sistem syari’ah. Demikian pula ANZ Australia, juga telah membuka unit syari’ah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah.
Fakta itu sejalan dengan laporan the Banker, seperti dikutip info bank (2006) ternyata Bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok muslim, tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti United kingdom, USA, Kanada, Luxemburg, Switzerland, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Srilangka, Fhilipina, Cyprus, Virgin Island, Cayman Island, Swiss, Bahama, dan sebagainya. Sekedar contoh tambahan, di luxemburg, yang menjadi Managing Directors di Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non Muslim yaitu Dr. Ganner Thorland Jepsen dan Mr. Erick Trolle Schulzt.
Sejalan dengan praktik empiris tersebut, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di universitas-universitas Amerika dan negara Barat lainnya. Di antaranya, Universitas Loughborough di Inggris. Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia. Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama Harvard University Forum yang membahas tentang Islamic Finance. Malah, tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi Internasional Ekonomi Islam Ke-3.
Ketujuh, alasan doktorinal. Secara doktrinal, ekonomi syariah bersifat universal dan inklusif. Ekonomi syariah, bukan untuk agama Islam saja, tetapi untuk semua manusia. Universalitas ekonomi syariah karena ia mengajarkan keadilan, kejujuran, kebenaran, kerjasama, tolong menolng, dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Ekonomi Islam mengutuk sikap kezaliman, eksploitasi, penipuan, curang, korupsi, egois, memenrtingkan diri sendiri. Dalam memerangi riba (bunga/interest), misalnya, semua agama samawi memiliki ajaran yang sama, baik Islam, Yahudi dan Kristen, bahkan para filosof Yunani juga mengutuk sistem riba dalam perekonomian. Para pendeta di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kupang, Palu, Maluku, dan Menado mendukung dan menjadi nasabah bank-bank syariiah.
Penutup
Berdasarkan beberapa alasan dan argumentasi di atas maka tidak perlu ada yang takut (phobi) kepada ekonomi syariah, karena manfaat ekonomi syariah akan dinikmati oleh semua komponen rakyat di Indonesia, bahkan jika diterapkan di skala global, akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.
Selengkapnya...

Ekonomi Islam Sebagai Solusi

(Agustianto Mingka) Oleh karena kegagalan berbagai macam ideologi dan sistem ekonomi dunia tersebut, maka sejak beberapa dakade yang lalu muncul gelombang kesadaran baru pakar ekonomi dunia untuk menemukan sistem ekonomi baru yang bisa mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Sistem baru itu kini diarahkan kepada sistem ekonomi Islam. Gerakan intelektual untuk mengaktualisasikan kembali ekonomi Islam mulai muncul pada dakade 1970-an.Kajian Ilmiah tentang Sistem Ekonomi Islam marak di mana-mana dan menjadi bahan diskusi di kalangan akademisi di berbagai Universitas, baik di Amerika, Eropa maupun Asia. Hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan didirikan Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam dikawasan Timur Tengah, Amerika, Eropa, Asustralia dan banyak negara Asia. Kajian ekonomi Islam tidak saja dalam aspek lembaga keuangan, tetapi telah meluas ke sektor ekonomi mikro lainnya. Juga ekonomi makro. seperti kebijakan fiskal, moneter, model pembangunan ekonomi dan instrumen-instrumennya.

Pada mulanya, keraguan banyak pihak tentang eksistensi Sistem Ekonomi Islam sebagai model alternatif sebuah sistem tak terelakkan, pandangan beberapa pakar mengatakan Sistem Ekonomi Islam hanyalah akomodasi dari Sistem Kapitalis dan sosialis, dan itu cukup nyaring disuarakan, tetapi hal tersebut terbantahkan baik melalui pendekatan historis dan faktual karena dalam kenyataanya, terlepas dari beberapa kesamaan dengan sistem ekonomi lainnya, terdapat karakteristis khusus bagi Sistem Ekonomi Islam sebagai landasan bagi terbentuknya suatu sistem yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat yang penuh keadilan

Sistem Ekonomi Islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran Islam secara integral dan komphensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam mengacu pada saripati ajaran Islam. Kesesuaian Sistem tersebut dengan Fitrah manusia tidak ditinggalkan, keselarasan inilah yang menimbulkan keharmonisan tidak terjadi benturan-benturan dalam Implementasinya,

Kebebasan berekonomi terkendali (al-hurriyah) menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi Islam, seperti kebebasan memiliki unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian. Kebebasan ini merupakan bagian penting dalam ekonomi Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas di kendalikan dengan adanya kewajiban setiap indivudu terhadap masyarakatnya, atas perintah Allah, melalui zakat infaq dan sedeqah. Keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif inilah menjadi pendorong bagi bergeraknya roda perekonomian tanpa merusak sistem sosial yang ada.

Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal. ”Persaingan bebas” menjadi ciri Islam dalam menggerakan perekonomian, pasar adalah cerminan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan yang direpresentasikan oleh harga, tetapi kebebasan ini haruslah ada aturan main sehingga kebebasan tersebut tidak cacat, pasar tidak terdistorsi oleh tangan-tangan yang sengaja mempermainkannya; Larangan adanya bentuk monopoli, kecurangan, dan praktek riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu.

Salah satu kekhasan dan keunggulan sistem ekonomi Islam adalah kebersatuannya dengan nilai-nilai moral dan spiritual Tanpa filter moral., maka kegiatan ekonomi rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan masyarakat luas. Tanpa kendali moral, kecendrungan penguatan konsumtivisme, misalnya akan muncul. Praktek riba, monopoli dan kecurangan akan menjadi tradisi.

Kesadaran akan pentingnya nilai moral dalam ekonomi telah banyak dikumandangkan oleh para ilmuwan ekonomi. Fritjop Capra dalam bukunya, ”The Turningt Point, Science, Society, and The Rising Culture, menyatakan, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di antara ilmu-imu lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu, pada seperangkat asumsi yang oleh E.F Schummacher disebut ”meta ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam ekonomi kontemporer. Demikian pula Ervin Laszlo dalam bukunya 3rd Millenium, The Challenge and the Vision mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama resionalitias ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara berkembang (yang miskin) dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melalukan satu titik balik peradaban.

Sekarang ini fenomena degradasi moral dalam sektor bisnis dan finansial masih terus berlangsung baik skala mikro maupun makro. Maraknya keinginan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan material dan pemuasan keinginan merupakan fenomena kapitalisme modern. Sebaliknya, terlalu sedikit upaya memenuhi kebutuhan spiritual, manusiawi, atau kebutuhan akan pemerataan distribusi di kalangan anggota masyarakat.
Upaya mencapai kepuasan diri atau kesuksesan hidup melalui pertumbuhan ekonomi yang "tinggi" telah menjadi ciri pokok kehidupan masyarakat "modern" saat ini. Seluruh upaya, secara langsung ataupun tidak langsung, diarahkan untuk memenuhi keinginan ini, tanpa mempedulikan apakah keinginan seperti itu memang mendesak dalam rangka memenuhi kebutuhan manusiawi yang hakiki. Akibatnya, hedonisme, materialisme dan konsumtivisme melanda hampir seluruh anggota masyarakat.
John K. Galbraith, dalam bukunya The New Industrial State (hal.153), menyatakan bahwa, "konsumsi barang telah menjadi sumber kenikmatan yang paling besar, dan tolok ukur prestasi manusia yang paling tinggi". Dengan demikian, yang kini tengah terjadi adalah: simbol-simbol gengsi yang dipromosikan secara besar-besaran, begitu pula keinginan manusia dibuat agar tak terbatas, tidak pernah terpuaskan dibanding kebutuhan manusiawi yang sesungguhnya.

Hasilnya: setiap orang berjuang dan bekerja keras memburu materi sehingga tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, membina anak, dan membangun solidaritas sosial. Bahkan untuk itu, banyak yang terpaksa melakukan korupsi, cara-cara yang tidak fair, atau rela mengorbankan hak yang diberikan Allah kepada orang lain.

Peningkatan kesejahteraan ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Jurang sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin telah semakin lebar. Di antara kebutuhan dasar orang-orang miskin, makanan, pakaian, pendidikan, fasilitas kesehatan dan perumahan tidak terpenuhi secara layak. Banyak masalah baru sesungguhnya tengah diciptakan bagi si miskin melalui inflasi (sehingga harga-harga semakin tak terjangkau) dan perusakan lingkungan yang cenderung lebih berpengaruh besar terhadap mereka. Ide dasar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan demikian patut dipertanyakan.

Realitas menunjukkan, fenomena peningkatan volume barang dan jasa belum memberikan sumbangannya bagi kebahagiaan manusia. Hal ini karena sesungguhnya, kebahagiaan pada hakikatnya merupakan refleksi kedamaian jiwa, yang tidak sekedar merupakan fungsi material tetapi juga keadaan spiritual. Distribusi pendapatan yang tidak adil yang disertai dengan perbedaan tingkat kehidupan yang mencolok membuat orang terus menerus menderita dan tidak bahagia.

Orang tidak pernah puas dan tidak pernah mampu ataupun tidak pernah mau memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Akibatnya, solidaritas sosial melemah dan masyarakat mengalami degradasi. Dewasa ini, menurut E.J.Mishan dalam bukunya The Cost of Economic Growth (hal 204), ada tanda-tanda peningkatan simptom anomali seperti stress, depresi, frustasi, kehilangan kepercayaan, alinasi antara orangtua dan anak, perceraian dan tindakan anarkhis. Ketegangan dimana-mana lebih terasa daripada keharmonisan, ketidakadilan lebih kentara daripada keadilan.

Selama ini, sistem kapitalisme modern yang muncul -menurut Daniel Bell- dengan kombinasi tiga kekuatan utama, yaitu: 'kerakusan borjuis', 'masyarakat politik demokratis' dan 'semangat individualistis', telah gagal menjawab semua problema di atas. Marxisme pun tidak mampu menawarkan penyelesaian, karena sebab yang sesungguhnya dari masalah manusia bukanlah perjuangan kelas, tetapi degradasi moral. Dan tidak diragukan lagi, bahwa Marxisme memainkan peranan penting dalam meremehkan moral, sama dengan peranannya dalam mendorong kecenderungan konsumtif. Dengan demikian, sistem kolektif tersebut gagal memecahkan hampir semua masalah yang dihadapi oleh kapitalisme. Berdasarkan paparan-paran di atas dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sistem ekonomi yang menjadikan moral sebagai dasarnya. Itulah sistem ekonomi Islam.(
Selengkapnya...

Kegagalan Kapitalisme (Perspektif EKIS)

(Agustianto Mingka) Tak bisa dibantah bahwa ekonomi Barat, lahir dari pandangan dunia enlightenment. Pendekatan mereka untuk mewujudkan kesejahteraan manusia dan analisis mereka tentang problem-problem manusia adalah sekuler. Dalam pembangunan, mereka lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai sumber kebahagiaan manusia. Mereka tidak mengindahkan peranan nilai moral dalam reformasi indidivu dan sosial, dan terlalu berlebihan menekankan peranan pasar atau negara. Mereka tidak memiliki komitmen kuat kepada persaudaraan (brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula memiliki mekanisme filter nilai-nilai moral.Impelementasi sistem ekonomi kapitalisme di berbagai belahan dunia, justru menimbulkan kenyataan-kenyataan tragis. Data World Bank masih menunjukkan akan hal itu. Di Asia Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada tingkat sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-anak berusia di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juta anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Memang bisa saja dikemukakan argumen bahwa seiring dengan perjalanan waktu dan semakin meningkatnya pertumbuhan, kekurangan-kekurangan itu akan bisa dihilangkan. Akan tetapi hal demikian nampaknya lamunan belaka, sebab kalau memang demikian, maka negara-negara industri pasti akan terbebas dari masalah-masalah seperti itu. Pada kenyataannya dewasa ini lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma.
Analisis yang sama dikemukakan oleh Chapra. Menurutnya, peristiwa depresi hebat telah memperlihatkan secara jelas kelemahan logika Hukum Say dan konsep laissez faire. Ini dibuktikan oleh ekonomi pasar yang hampir tidak mampu secara konstan menggapai tingkat full employment dan kemakmuran. Ironisnya, di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan metodologi yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek.
Dengan kata lain, ilmu ekonomi, bekerja dengan asumsi-asumsi ceteris paribus. Dalam konteks ini, Keynes pernah mengatakan, Kita terkungkung dan kehabisan energi dalam perangkap teori dan implementasi ilmu ekonomi kapitalis yang ternyata tetap saja mandul untuk melakukan terobosan mendasar guna mencapai kesejahteraan dan kualitas hidup umat manusia di muka bumi ini”.
Kesimpulannya, konsep dan kebijakan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme dan sosialisme, terbukti telah gagal mewujudkan perekonomian yang berkeadilan. Akibat berpegang pada kedua faham tersebut terjadilah ketidakseimbangan makroekonomi dan instabilitas nasional.
Teori, model dan sistem ekonomi yang sekarang berlangsung hanya ditujukan untuk melestarikan kepentingan negara-negara kaya (kapitalis), Negara-negara maju mengeksploitasi negara-negara berkembang dan terkebelakang melalui investasi untuk menyedot kekayaan alam, seperti gas, minyak, mineral dan kayu yang kelak digunakan untuk memperkaya negaranya sendiri. Hal ini dikaitkan dengan tujuan setiap usaha maximization the satisfaction of wants yang dikukung oleh asumsi pasar perfect competetion. Sementara itu, yang sangat jahat ialah eksploitasi negara-negara berkembang oleh negara-negara maju melalui bunga pinjaman yang secara internasional dikuasasi oleh Bank Dunia (World Bank) dan dana moneter Internasional (IMF). Yang kekuasaan atas sahamnya didominasi oleh negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.
Kegagalan konsep-konsep dan sistem ekonomi kapitalisme tersebut juga dikarenakan ia menyuburkan budaya eksploitasi manusia atas manusia lainnya, kerusakan lingkungan serta melupakan tujuan-tujuan moral dan etis manusia. Singkatnya, konsep yang ditawarkan Barat, bukanlah pilihan tepat apalagi dijadikan prototype bagi negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian kita tak boleh menafikan bahwa pengalaman dari ekonomi pembangunan yang telah berkembang itu banyak yang bermanfaat dan penting bagi kita dalam membangun, meskipun relevansinya sangat terbatas.
Sistem kapitalis maupun sosialis jelas tidak sesuai dengan sistem nilai Islam. Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan kerangka sosial politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi, perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.
Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi oleh kakrakteristik unik dan spesifik, juga dipengaruhi oleh nilai dan infra struktur sosial politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas tidak dapat diterapkan persis di negara-negara Islam. Terlebih lagi, sebagian teori pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena kelemahan mendasar inilah, maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan pembangunan di berbagai negara berkembang.
Maka, tak terbantah lagi bahwa Ilmu Ekonomi sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-evaluasi. Ekonomi kapitalisme itu menghadapi serangan dari berbagai penjuru sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Banyak ekonom dan perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan Barat kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri.
Keberlanjutan dan keseriusan problem-problem di atas menunjukkan bahwa pasti ada sesuatu yang salah (Something wrong) secara mendasar. Apakah sesuatu yang salah itu? Secara objektif harus diakui bahwa upaya pemecahan masalah tersebut selama ini hanya bersifat kosmetikal. Belum mencapai akar permasalahan. Meskipun ada desakan untuk perbaikan yang menyeluruh dalam upaya meningkatkan kesejahteraan secara adil, merata dan kesehatan sosial disertai keterbukaan pada semua tingkat interaksi manusia, namun target semacam ini tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya transformasi paradigma, sistem dan konsep yang mendasar.

Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi kapitalisme tidak relevan dan tidak memenuhi syarat untuk diterapkan oleh umat manusia di muka bumi ini, khususnya di negara-negara Islam. Karena itu prinsip-prinsip teori kapitalis harus ditinjau kembali dan direformasi total sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendekatan yang jauh lebih kritis, harus dilakukan untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah ditularkan kepada negara-negara Islam.

Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep ekonomi yang tidak hanya mampu merealisasikan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan oleh semua negara-negara di belahan bumi ini, tetapi juga yang terpenting adalah kemampuan konsep tersebut meminimalisasir atau bahkan menghilangkan segala negative effect pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga harus mampu memperhatikan sisi kemanusiaan tanpa melupakan aspek moral.
Kebutuhan akan suatu konsep ekonomi ”baru” tersebut terasa lebih mendesak dilakukan, mengingat kondisi perekonomian dunia yang semakin tidak adil. Mark Skousen, yang terkenal dengan kritik-kritiknya terhadap konsep ekonomi, baik secara mikro maupu makro, menyatakan bahwa ekonomi baru (new economy) pasti akan terwujud. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa negara manapun di dunia ini, baik miskin atau kaya, tidak boleh melupakan prinsip-prinsip di atas.
Selengkapnya...

Peluang Ekonomi Syariah

(Agustianto Mingka) Umat manusia di bawah kepemimpinan Barat, telah mengalami dua ideologi ekonomi utama dalam kurun tiga ratus tahun terakhir, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kedua ideologi tersebut didasarkan secara fundamental pada premis Barat bahwa agama dan moralitas tidak relevan untuk mengatasi problem-problem ekonomi umat manusia, sehingga urusan-urusan ekonomi lebih tepat kalau dipecahkan dengan menggunakan hukum-hukum perilaku ekonomi dan bukan ajaran agama atau moral tertentu.Kapitalisme membangun rumahnya di atas prinsip usaha privat yang tak terbatas, motif mencari untung dan mekanisme pasar. Sosialisme membangun imperiumnya lewat BUMN, motivasi sosial, dan perekonomian perencanaan pusat (central planning) yang diusahakan langsung oleh negara. Meskipun terdapat prestasi-prestasi yang mencolok dalam bidang-bidang tertentu, ideologi-ideologi utama dunia ini telah gagal memecahkan problem-problem utama ekonomi umat manusia. Sosialisme adalah ideologi ”pertama” yang terperosok ke dalam kotak sampah sejarah.
Adalah sangat bodoh bila kita menganggap dengan kejadian itu, kapitalisme dan negara kesejahteraan (welfare state) telah tervindikasi. Krisis ekonomi masa kini masih tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan penderitaan penderitaan yang memilukan. Karena itu kini ada keperluan mendesak untuk kembali kepada sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran dan pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Ini dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar.
Krisis
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Banyak negara mengalami keterpurukan ekonomi dan krisis yang hebat. Negara-negara ASEAN misalnya, mengalami musibah goncangan ekonomi negara, menyusul ulah raksasa spekulan valuta asing, George Soros, yang telah menyebabkan anjloknya nilai tukar mata uang negara-negara tersebut terhadap Dollar Amerika. Hegemoni sistem moneter kapitalisme yang menggunakan fait money semakin meluluh-lantakkan ekonomi banyak negara. Mata uang Indonesia misalnya terjungkal ke tingkat yang paling rendah mencapai 500 persen dari semula yang berakibat fatal bagi perekomian Indonesia. Krisis ekonomi juga melanda Thailand, Malayisa dan sejumlah negara di Asia.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara bersangkutan. Puluhan proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali. Pasar modal mengalami keterpurukan yang belum pernah terjadi dalam sejarah.
Meskipun proses penanggulangan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit itu kini sedang berlangsung, namun berbagai ketidakpastian masih saja membayang-bayangi. Tingkat suku bunga semakin tinggi dan diduga akan terus membumbung, memperkuat kekhawatiran akan gagalnya proses penyembuhan di atas. Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa "Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving the World Economy").
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pendangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Cricis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World.
Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.
Paul Ormerod menyebutkan bahwa bahwa unemployment di negara-negara Eropa Barat menjadi 29 juta pengangguran. Amerika mengalami defisit anggaran dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya., yaitu pada anggaran pemerintah dan neraca perdagangan. Belahan Timur dunia Eropa tak luput dari incaran krisis ekonomi yang memberikan catatan sejarah baru bagi ekonomi dunia, yaitu tumbangnya sistem perekonoian Uni Sovyet yang berarti pula saat itu berakhirnya sistem ekonomi sosialis.
Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cendrung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.

Hampir sama dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme. Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang sesungguhnya adalah riba.
Teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidak adilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua, Teori ekonomi kapitalisme tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia ,terutama antara negara-negara maju dana negara berkembang. Kelima, terlalaikannya pelestarian sumber daya alam.
Alasan-alasan inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin. (The World Bank, 2002).
Sejalan dengan Omerod dan Vadillo, belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat.. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam missinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil.
Dalam karyanya yang terbaru Joseph E.Stiglitz dan Bruce Greenwald dalam buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”kembali mengkritik teori ekonomi kapitalis. Stiglitz mengkritik teori ekonomi moneter konvensional dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter)
Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph Schumpeter meraguan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan, “Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme bertahan ?. Tidak, saya tidak berfikir bahwa kapitalisme dapat bertahan). Selanjutnya ia mengatakan, ” Capitalism would fade away with a resign shrug of the shoulders”,Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya untuk kesejahteraan (Heilbroner,1992).
Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan, maka peluang ekonomi syariah makin terbuka luas. Saat ini cukup banyak para ilmuwan Barat (non Muslim) yang meminati ilmu ekonomi Islam, seperti Prof. Rodney Wilson (Univ. Durbah), Prof. Shakespiare (UK), Prof. Volker Ninhaus (Univ. Bochum Jerman), Roy Davies, Prof. Dr. Samuel Hayes, Prof. John Presley (Univ.Louborough) Glyin Davies, Prof. John Lesson, Prof. Viktor Murinda, Prof. Tom Gainor, dsb. Studi ekonomi Islam telah banyak dikembangkan di universitas-universitas terkemuka di dunia, antara lain di Harvard University, dan enam universitas besar di Inggris. Demikian pula di Australia dan beberapa negara Eropa lainnya. Bank Islam telah merambah 75 negara, lain lagi institusi keuangan syariah lainnya. Fenomena ini membawa horizon baru bagi perekonomian dunia masa depan.
Selengkapnya...

Al-Qur'an dan Revitalisasi Perdagangan

(Agustianto Mingka) Nuzul Quran adalah peristiwa terbesar dalam rentangan sejarah ummat manusia, suatu peristiwa yang maha penting bagi seluruh makhluk di muka bumi bahkan jagad raya dan alam semesta. Hal ini dikarenakan Nuzul Quran merupakan momentum revolusi kemanusiaan yang luar biasa yang meliputi berbagai aspek kehidupan secara komprehensif seperti teologi, politik, hukum, ekonomi, intelektual, moral bahkan pengembangan sains dan teknologi.Secara konvensional, Nuzul Quran adalah awal mula diturunkannya Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw. Peristiwa tersebut merupakan indikasi kenabian Muhammad Saw dan menjadi embrio kebangkitan agama tauhid (Islam), sekaligus tonggak revolusi kemanusiaan berdasarkan wahyu ilahi.
Kehadiran Alquran membawa sebuah gerakan revolusi spektakuler yang mencengangkan dunia. Dikatakan revolusi, karena dalam waktu yang relatif singkat, Alquran telah berhasil mengubah dunia, menuju masyarakat tercerahkan, maju dan berperadaban. Dengan kehadiran Al-Quran, ummat Islam telah berhasil memimpin peradaban dunia selama lebih tujuh abad. Kemajuan dan keunggulan ummat Islam disebabkan karena mereka mengamalkan ajaran Al-quran secara komprehensif (tidak saja ibadah tetapi juga muamalah) dan berpegang teguh padanya secara istiqamah. Inilah yang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw, ”Sesunggunya Allah akan mengangkat derjat suatu bangsa karena berpegang teguh pada Al-quran, dan merendahkan mereka karena mengabaikan Al-quran”.
Untuk itulah, pada momentum nuzul quran ini, perlu diangkat sebuah tema yang selama ini terabaikan oleh umat Islam. Tema tersebut adalah Alquran dan Perdagangan. Tema ini sangat penting untuk diaktualisasikan kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa depan. Tema ini perlu diangkat ke permukaan mengingat kondisi obyektif kaum muslimin di berbagai belahan dunia sangat tertinggal di bidang perdagangan. Bidang ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun peradaban Islam sebagaimana yang banyak dibahas Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya.
Islam memberikan penghargaan yang terhormat kepada para pedagang.Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw bersabda, dari Mu’az bin Jabal, ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik menurut Nabi Muhammad adalah perdagangan.
Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak merealisasikan hadits ini dalam realitas kehidupan dan membiarkan perdagangan dikuasai orang lain, akibatnya ekonomi ummat Islam terpinggirkan selama berabad-abad dan ekonomi bangsa-bangsa lain maju pesat menguasai dunia. Gejala ke arah ini sebenarnya pernah terjadi di masa Umar bin Khattab, yaitu ketika para sahabat mendapat harta ghanimah yang melimpah melalui ekspansi wilayah Islam ke Persia, Palestina, Mesir dan negara-negara tetangga, karena itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan perdagangan. Umar mengingatkan mereka, ”Saya lihat orang asing mulai banyak menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya (karena telah menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah), Jangan kalian tinggalkan perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung dengan laki-laki mereka dan wanita kamu tergantung dengan wanita mereka”.
Yang patut digaris bawahi dari pernyataan Umar tersebut adalah, jika ekonomi perdagangan dikuasai umat lain (bangsa lain), maka sangat dikhawatirkan ummat Islam tergantung kepada bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan Umar tersebut, kini telah terjadi di negara-negara Muslim, termasuk dan terutama di Indonesia, dimana umat Islam tergantung dengan bangsa-bangsa lain, bahkan ketergantungan itu merasuk kepada kebijakan politik negara muslim, merasuk ke aspek budaya, ilmu pengetahuan, bahkan mengganggu aqidah dan akhlak ummat Islam.
Betapa urgennya ummat Islam menguasai perdagangan, sehingga Nabi Muhammad Saw mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad saw mengatakan, ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
Hadits ini diawali dengan kata ’Alaikum”, yang dalam ilmu gramitikal bahasa Arab bermakna fiil amar, artinya perintah yang wajib dilaksanakan. Kewajiban di sini tentunya difahami sebagai kewajiban kifayah. Artinya, jika sebagian ummat Islam telah menguasai perdagangan, maka sebagian ummat Islam lainnya terlepas dari dosa kolektif. Tetapi, jika ummat Islam tidak menguasai perdagangan, maka seluruh ummat Islam berdosa.
Nabi Muhammad tidak saja memerintahkan dengan kata-kata, tetapi secara langsung mempraktekkannya dalam kehidupan nyata, bahkan sejak usia beliau yang relatif muda, 12 tahun. Ketika Usia 17 tahun ia telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri. Profesi inilah yang ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi Rasul di usia yang ke 40. Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader menyebutkan bahwa reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam konteks profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-Amin. Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu, sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa.
Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum muslimin saat ini agar peradaban kaum muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini melalui kejayaan ekonomi dan perdagangan. Namun, pada masa kini sektor perdagangan jauh dari dominasi ummat Islam. Menurut buku Menuju Tata Baru Ekonomi Islam (2001, terbitan Malaysia), 93 % perdagangan dunia dikuasai oleh negara-negara bukan muslim. Dengan demikian negeri-negeri muslim hanya menguasai 7 % perdagangan dunia. Padahal ummat Islam hampir 20 % dari penduduk dunia atau sekitar 1,2 milyar orang. Idealnya paling tidak negara –negara Islam bisa menguasai 20 % perdagangan dunia, bahkan lebih dari itu, karena hampir 70 % sumber-sumber alam terdapat di negara-negara Islam.
Dunia Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam memasok dan mensuplay 42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
Demikian pula peranan dan kiprah ummat Islam dalam perdagangan di Indonesia, masih sangat kecil. Menurut para pengamat ekonomi, ummat Islam yang berjumlah 85 %, paling hanya menguasai sektor perdagangan sekitar 20- 30 %.
Karena kondisi tersebut, maka peringatan Nuzul Quran pada tahun ini perlu mengangkat tema konsep Al-quran tentang perdagangan, agar ummat Islam kembali kepada masa-masa kejayaan Islam yang menguasai sektor perdagangan.

Perdagangan dalam Al-quran
Pengungkapan perdagangan dalam Al-quran ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah (perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut masih banyak lagi term-term lain yang berkaitan dengan perdagangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan perdagangan global (Qs.Al-Jum;ah : 9)
Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Albaqarah :16 dan 282 , An-Nisak : 29, at-Taubah : 24, An-Nur:37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Pada surah Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surah lainnya hanya disebut masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254, 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9
Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya, yaitu yang kisah al-quran yang menjelaskan tentang Nabi Yusuf yang dijual oleh orang menemukannya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22.
Demikian banyaknya ayat-ayat Al-quran tentang perdagangan, sehingga tidak mungkin dijabarkan dalam halaman yang amat terbatas ini. Karena itu tulisan ini hanya akan memaparkan salah satu konsep penting tentang perdagangan yang terdapat dalam Al-quran yaitu keharusan ummat Islam untuk go internasional.dalam perdagangan.
Dalam surat al-Jum'ah ayat 10 Allah berfirman, " Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung..

Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang harus kita cermati, yaitu (i) fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan (ii) wabtaghu min fadl Allah (carilah anugrah/rezeki Allah).

Redaksi fantasyiruu adalah perintah Allah agar ummat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Ke mana tujuan bertebaran itu? Ternyata Allah SWT tidak membatasinya hanya sekadar di kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Allah memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia, Jepang dan negar-negara Asia lainnya. Untuk apa kita bertebaran ke tempat-tempat tersebut? Allah menjawab bukan untuk tourism belaka, tetapi untuk berdagang dan mencari rezeki ”wabtaghu min fadl Allah” (M.Syafi’i Antonio,2003).

Ketika perintah bertebaran ke pasar global Eropa, Australia, Amerika, Asika, Afrika, bersatu dengan perintah berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita membawa goods and services dan komoditas ekspor lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya (Cina, Taiwan, Korea, India, Thailand, dan lain-lain). Menurut kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery. Hanya dengan produk yang inovatif dan kualitas yang memadai kita bisa merebut pasar. Produk yang inovatif baru akan laku bila dijual dengan harga (price) yang bersaing dan promosi yang efektif. Demikian juga nasabah baru akan setia dan terpuaskan bila kita menyerahkannya (placement) sesuai jadwal dan after sales service (layanan purna jual) yang prima.
Dalam Surat al-Quraish Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraish (leluhur Rasulullah dan petinggi bangsa Arab) yang telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumberdaya alam di negeri mereka. Allah berfirman, "Karena kebiasaan orang-orang Quraish. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalan dagang pada musim dingin dan musim panas."
Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.
Perintah Al-quran untuk melakukan perdagangan dengan go internasional ke manca negara telah dibuktikan oleh generasi Islam di masa kejayaan Islam.
Peter L. Bernstein dalam buku The Power of Gold, (2000, p.66-67), menggambarkan kejayaan ummat Islam genarasi awal dalam melakukan perdagangan internasional..
The Arabs had no difficulty accumulating a massif golden treasure.Their ceativity at the task was impressive… (they) outsmarted their competitors at trade.The Arabs soon succeeded in eating deeply in to the hearth of Byzantine economic power by setting themselves up as traders of extraordinary acumen and persistence. In time, They dominated the major commercial contract that and served Byzantine so well for so long. Throghout all of the Byzantine sphere of influence, even as the built new commercial relationships all along the shouthern Mediteranean. The Arab ships plied the sea down the east coast of Afrika and across the oceans to India, and China in search of profit. They even reveled northward, through the river highways Of Russia, to the Scandanavian countries, trading merchandise acquired from across the seas for furs, amber, honey and slaves

Saat ini contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Alquran mungkin Singapura atau Hong Kong, negeri yang miskin sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan Pasifik. Sementara Indonesia, yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya alam yang ribuan kali lipat, ternyata jauh tertinggal. Mungkin kita harus bercermin pada Alquran dan hadits yang selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.

Lemahnya kerjasama Bisnis
Meskipun Alquran cukup banyak membicarakan perdagangan bahkan dengan tegas memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri muslim memiliki kekayaan alam yang besar, namun ekonomi ummat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara non Muslim. Banyak faktor yang membuat ummat Islam tertinggal dari bangsa lain, antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut catatan OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku Menuju tata baru Ekonomi Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah perdagangan negara-negara Islam.
Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data aberikut :
1. Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimport mentega dari Eropa Barat.
2. Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
3. Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (import) dari Eropa Barat.
4. Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.
.
Selain ekspor yang relatif sedikit ke negara-negara Timur Tengah, fakta juga menunjukkan bahwa produk Indonesia yang dibutuhkan negara muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura. Konsekuensinya, yang mendapat keuntungan besar adalah Singapura, karena ia membeli dengan harga murah dan menjual ke Timteng dengan harga yang mahal. Dan negara kita sering kali cukup puas dengan kemampuan ekspor sekalipun mendapatkan keuntungan margin yang sedikit. Sungguh kebodohan kita dalam perdagangann internasional. Hal ini tentu bisa mengecewakan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan
Mudah-mudahan semangat nuzul quran tahun ini dapat mengingatkan kita untuk mementingkan kembali aspek perdagangan yang selama ini kita abaikan dan mampu memasarkan goods dan services yang bersaing di pentas global.
Selengkapnya...

Wakaf Uang dan Peningkatan Kesejahteraan Ummat

(Agustianto Mingka) Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono, baru saja mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang di Istana Negara, tepatnya tanggal 8 Januari 2010. Pencanangan ini sudah lama ditunggu masyarakat ekonomi syariah Indonesia. Pencanangan Gerakan ini diharaplan menjadi tonggak sejarah dan momentum penting bagi gerakan wakaf produktif di Indonesia dalam rangka meningkatan kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia.Di Indonesia, isu wakaf uang mulai marak didiskusikan sejak awal tahun 2002, yaitu ketika IIIT (international Institute of IslamicThought) dan Departemen Agama RI menggelar Workshop Internasional tentang Wakaf Produktif di Batam, tgl 7-8 Januari 2002. Kemudian beberapa bulan pasca workshop itu, IAIN Sumut menggelar Seminar Nasional Wakaf Produktif di Medan, pada tangal 1-2 Mei 2002 dengan menghadirkan 16 pembiacara nasional. Setelah itu, Seminar International tentang wakaf kembali digelar di Medan oleh Universitas Islam Sumatera Utara, pada 6-7 Januari 2003 dengan menghadirkan pakar-pakar wakaf berkaliber dunia, seperti Prof.Dr.Monzer Kahf, Prof.Dr.M/.A Mannan, Prof.Dr.Sudin Haroun (Malaysia). Forum International Seminar Sumatera Utara mementuk tim pembahas Rancangan Undang-Undang Waqaf, yang terdiri dari Prof.Dr.Uswatun Hasanah, Dr.Mustafa Edwin, Nasution, Drs.Agustianto, M.Ag dan beberapa dosen UISU. Setelah tiga momentum tersebut, isu wakaf produktif dan wakaf uang menjadi marak dan banyak menjadi tema seminar di berbagai kampus dan lembaga, seperti di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Prof.Dr.Hamka, UIN Jakarta, dsb. Alhamdulillah forum semua forum ilmiah yang kita selenggarakan dan hadiri itu membuahkan hasil yang menggembirakan dan mendapatkan momentumnya di Istana Presiden Republik Indonesia.
Hasil kajian yang panjang dan melelahkan itu selanjutnya membuahkan manfafat yang sangat menggembirakan, karena masalah wakaf uang dimasukkan dan diatur dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Undang – Undang ini selanjutnya disusul oleh kelahiran PP No No 42/2006. Dengan demikian, wakaf uang telah diakui dalam hukum positif di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.
Konsep dan Praktik Klasik
Isu mengenai wakaf uang sesungguhnya bukanlah wacana baru pada studi dan praktik dalam masyarakat Islam. Dalam sejarah Islam, masalah wakaf uang (waqf an-nuqud) telah berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf sudah dilakukan sejak lama di masa klasik Islam. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf uang juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf uang sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”.
Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf uang. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Berdasar kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama (2003), perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Sementara di Indonesia belum berjalan sama sekali. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya .
Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.

Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.


Kesejahteraan Ekonomi Umat
Di tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia
1. Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, yang perlu mendapat perhatian dan langkah-langkah
yang konkrit.
2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin
3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan public goods.
Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa:
Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.
Pengembangan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf uang, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
Ketiga, dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Kelima, dana waqaf uang bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.
Keenam, dana waqaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.
Di Indonesia, lembaga pengelola wakaf nasional adalah Badan Wakaf Indonesia (BWI). Selain itu lembaga-lembaga wakaf lainnya yang dikelola masyarakat dan ormas Islam juga sudah banyak yang muncul, Salah satunya adalah Waqf Fund Management dan Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf uang , maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.
Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf uang (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.
Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.

Berwakaf Uang Melalui Bank syariah
Sesuai dengan karakternya, benda waqaf harus bersifat abadi dan tidak cepat habis. Uang yang diwaqafkan mestilah abadi nominalnya. Misalnya, jika si A mewakafkan uang sejumlah Rp 10 Juta hari ini, maka di masa depan uang tersebut harus masih ada (eksis). Oleh karena itu, uang itu haruslah diinvestasikan ke sektor produktif yang menguntungkan, agar uang yang diwakafkan itu membuahkan hasil, di mana pokoknya tetap eksis. Sabda Nabi Saw, “Tahanlah pokoknya dan manfaatkan hasilnya”. Hasil investasi itulah yang disalurkan untuk membantu fakir msikin dan kepentingan sosial, pendidikan dan keagamaan lainnya. Berdasarkan konsep wakaf uang tersebut, maka lembaga yang mengelola dan mengembangkan wakaf uang haruslah lembaga profesional. Untuk saat ini salah satu lembaga yang dianggap paling profesional melakukan investasi dengan ilmu manajemen resiko dan analisis pembiyaan yang baik adalah lembaga perbankan, Karena itulah, Undang-Undang mengamanatkan lembaga perbankan syariah sebagai institusi yang ditunjuk untuk mengembangkan dana wakaf produktif.
Menteri Agama telah menunjuk 5 (lima) bank syariah, sebagai lembaga yang dapat mengembangkan dana wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BNI Syariah dan Bank DKI Syariah. Masyarakat luas yang ingin melakukan investasi akhirat untuk mendapatkan pahala yang terus mengalir, dapat mewakafkan danaya ke Badan Waqaf Indoensia atau Waqaf Fund Management melalui bank-bank syariah yang telah ditunjuk.
Lembaga Wakaf bernama Wafq Fund Management telah bekerjasama dengan beberapa bank syariah dalam mempermudah berwakaf uang melalui ATM dan kartu kredit syariah. Jika setiap muslim bisa mewakafkan uangnya hanya Rp 1000,- perhari, dengan jumlah wakif 1 juta orang, maka dalam sebulan Wakaf Fund Management akan bisa mengumpulkan dana sebesar Rp 30 milyar sebulan. Ini adalah potensi dana yang sangat luar biasa di masa depan.
Kualiikasi Manajemen Wakaf
Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Selain itu pengelolaan waqaf uang harus transparan dan memenuhi prinsip God Govarnance yang baik. Oleh karena institusi wakaf uang adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa.
Selengkapnya...

Meningkatkan Kompetensi SDM Ekonomi Syariah

(Agustianto Mingka) Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia sangat pesat. Sampai akhir Desember 2010, asset perbankan syariah sudah menembus angka Rp 100 triliun lebih. Saat ini market share perbankan syariah sudah mencapai 3,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 40 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Jika market share perbankan syariah 5 persen, dibutuhkan setidaknya 40 ribu SDM yang memiliki basis skills ekonomi keuangan syariah yang bermutu dan kompeten.Perkembangan perbankan syariah sangat mengembirakan, namun kehadiran bank-bank umum syariah dan pembukaan unit usaha syari’ah oleh bank konvensional, menghadapi sejumlah kendala yang tidak ringan. Salah satu masalah atau kendala yang dihadapi adalah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang memiliki kompetensi dan kualifikasi masih langka, baik di level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), maupun di level bawah..
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pengembangan perbankan syariah bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan yang spektakuler atau keberhasilan penyebarluasan informasi, penyusunan atau penyempurnaan perangkat ketentuan hukum, atau banyaknya pembukaan jaringan kantor, tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya insani para pelaku/praktisi perbankan syariah itu sendiri, sehingga bank syari’ah bisa berjalan sesuai prinsip syari’ah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, praktisi perbankan syari’ah tidak hanya terfokus pada pengejaran target yang ditetapkan demi kepentingan shareholders, tetapi juga berkomitmen pada penerapan nilai-nilai syari’ah. Untuk mewujudkan sistem dan tatanan perbankan syariah yang sehat dan istiqomah dalam penerapan prinsip syariah dibutuhkan Sumber Daya Insani (SDI) yang mampu menguasai syari’ah dan teknis perbankan.
Harus diakui bahwa SDI bank syari’ah yang mampu dan siap untuk memenuhi kebutuhan operasional bank syariah masih sangat langka. Kendala SDI dalam pengembangan perbankan syariah ini terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia relatif masih baru, juga masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Diperkirakan 70 persen karyawan bank syariah saat ini berasal dari bank konvensional dan latar pendidikan non syariah.

Selain kebutuhan akan SDM di lembaga perbankan syariah, SDM ekonomi syariah juga sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah. Sejalan dengan kebutuhan di lembaga keuangan syariah, tentu yang paling penting lagi adalah kebutuhan akan lahirnya para entrepreneur syariah, sehingga terjadi keseimbangan antara sector keuangan dan sector riil syariah.
Hal ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan untuk menyiapkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Tingginya kebutuhan SDI bank syari’ah dan lembaga keuangan syariah ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dibutuhkan oleh masyarakat.
Peningkatan kuantitas jumlah dan asset bank syari’ah yang cepat tersebut, tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas SDI syari’ah, hanya akan bersifat fatamorgana dan artifisial. Hal ini ini perlu diperhatikan dalam pengembangan bank syariah. Selama ini praktisi perbankan syari’ah didominasi mantan praktisi perbankan konvensional yang hijrah kepada bank syari’ah atau berasal dari alumni perguruan tinggi umum yang berlatar belakang ekonomi konvensional. Umumnya mereka biasanya hanya diberi training singkat (2 minggu) mengenai ekonomi syari’ah atau asuransi syari’ah lalu diterjunkan langsung sebagai praktisi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagian mereka mengikuti training MODP atau MT (Management Training) selama satu bulan. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah, bahkan sampai kepada membangun militansi syariah. Selain itu materi ekonomi syari’ah tidak mungkin bisa dipelajari hanya dalam waktu 2 minggu atau 2 bulan.
Akibat pendidikan dan training yang singkat, maka tingkat pemahaman hukum syari’ah (fikih muamalah) menjadi minim. Short course singkat ini hanya memberikan kulit luar ekonomi syariah dan perbankan syariah secara instan dan dijamin lulus. Selanjutnya mereka langsung menjadi pemegang kendali dan menjadi decision maker semua kebijakan. Fit and proper test (Uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan oleh BI untuk direksi bank syariah juga belum dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan direksi bank syariah yang benar-benar mempunyai ghirah dan kompetensi yang tinggi.
Minimnya skills dan kognisi (keilmuan) sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah ini menimbulkan dampak negatif yang serius, antara lain implementasi syariah Islam dalam perbankan menjadi tidak optimal Akibatnya lainnya ialah pengembangan produk-produk yang benar-benar memiliki landasan syariah yang kuat dan sekaligus memiliki keandalan bisnis menjadi terhambat. Padahal, idealnya pengembangan produk ini harus bisa membawa masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan.


Karena kurangnya pemahaman dan komitmen syari’ah, maka tidak jarang praktek bank syari’ah telah tercemar oleh budaya konvensioanl yang tidak syar’iy yang bertentangan dengan fitrah alam dan fitrah usaha. Para bankir syariah yang tidak berlatar belakang ilmu perbankan syariah ini hanya berkutat pada produk-produk konvensional, diberi imbuhan syariah dan dimodifikasi di sana-sini, selanjutnya dijual dengan label syariah. Jadi, pengembangan produk perbankan syariah hanya mencari-cari padanan dengan produk perbankan konvensional. Jika kecenderungan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan degradasi produk-produk perbankan syariah pada masa depan.
Sebenarnya, mantan praktisi bank konvensional yang menjadi praktis bank syari’ah tidak akan bermasalah jika mereka secara serius dan dengan segera mempelajari segala hal tentang bank syariah. Karena itu, pihak manajemen harus mengutamakan pelatihan syari’ah yang terus-menerus agar kemampuan syari’ah meningkat dan jiwa syari’ah menjadi tumbuh dan makin kuat. Selanjutnya para praktisi ini mempunyai confidence dan ghirah yang tinggi untuk menerapkannya, tanpa berkeluh-kesah soal kesulitan-kesulitan yang timbul ketika konsep perbankan syariah yang benar dioperasionalkan.
Setiap insan bank syariah seharusnya paham bahwa konsep perbankan syariah merupakan manifestasi dari konsep syari’ah. Memahami teknis perbankan saja tanpa memiliki kemampuan ilmu syari’ah yang memadai, akan mudah terjerumus kepada penyimpangan-penyimpangan syari’ah. Sebenarnya pada tahap-tahap awal, menimnya pengetahuan ilmu syari’ah ini bisa dimaklumi, tapi menjadi tidak wajar dan naif sekali, bila mereka kemudian malas belajar dan mengaggap persoalan tersebut secara enteng.
Mungkin karena merasa sudah pintar dan berpengalaman di bank konvensional membuat mereka, terutama yang ada di level atas, kurang serius mempelajari perbankan syariah. Akibatnya, ghirah yang dibutuhkan untuk memikul beban berat menjalankan sistem perbankan syariah tidak muncul. Maka, mengelola bank syariah, mereka sering mengeluarkan ’jurus-jurus’ konvensionalnya yang terkadang melanggar kepatuhan syariah. Memang berat menjadi seorang direktur bank syariah, sementara harus membawa organisasinya ke pencapaian visi dan misi yang idealis dan memikat umat Islam, tetapi kenyataannya target kuantitatiflah yang harus diutamakan.
Sementara itu, direktur bank syariah pun harus memuaskan pemilik yang belum tentu paham esensi, visi, dan misi perbankan syariah. Akibatnya, jangankan berpikir tentang tanggung jawab bank syariah sebagai agen perubahan ekonomi bangsa,berpikir bagaimana agar kinerja bisnis bank syariah dalam mencapai target yang digariskan oleh pemiliknya saja, sudah memusingkan kepalanya.
Beban target inilah yang akhirnya mendorong kebijakan-kebijakan bisnisnya terlalu berorientasi pada bisnis secara sempit sehingga semakin jauh dari visi dan misi bank syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya ditingkatkan malah semakin dijauhi oleh perbankan syariah dengan berbagai alasan yang sebenarnya mencerminkan sikap avers to risk dan avers to effort mereka. Padahal, produk mudharabah dan musyarakah adalah pembeda yang paling jelas dan sekaligus positioning yang baik bagi bank syariah ketika bersaing melawan bank konvensional.
Demi mengejar target, melanggar konsep syariah sedikit dianggap tak menjadi masalah. Padahal, dari sisi nasabah, bila dihadapkan pada preferensi (pilihan) antara bank syariah yang berkomitmen pada syari’ah dan bank yang tidak komit, maka nasabah akan cenderung memilih yang lebih baik praktek syariahnya. Padahal, kalau sudah konversi ke sistem syari’ah, has
Beberapa ekses yang sangat mungkin terjadi akibat fenomena tersebut adalah munculnya praktik-praktik haram, seperti manipulasi informasi, mau menerima hadiah dalam rangka pencairan pembiayaan, merubah akad secara sepihak, atau bahkan memberikan pelayanan yang rendah mutunya. Berbagai ekses tersebut sudah pasti akan mengancam reputasi perbankan syariah secara keseluruhan. Artinya, satu lembaga bank syari’ah yang melakukan kasalahan,maka seluruh bank syari’ah akan tercoreng.
Dari sisi inilah kiprah sesungguhnya perbankan syariah akan terkuak. Masyarakat memang tidak begitu paham apa itu bank syariah, tapi harap diingat bahwa masyarakat tidak salah bila berharap bahwa munculnya bank syariah akan memberikan berbagai solusi atas dampak negatif bank konvensional.
Pada masyarakat telah tertanam persepsi bahwa bank syariah pasti berbeda (walaupun tentu ada juga persamaannya), bahkan lebih tinggi kualitas moral, etika, dan sistem bisnisnya dibanding bank konvensional. Bila ternyata yang ditemui sama saja, bahkan lebih buruk dari bank konvensional, betapa bodohnya perbankan syariah yang telah menyia-nyiakan kepercayaan para stakeholder-nya dan tidak bersyukur atas kelapangan dan peluang besar yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Urgensi Perguran Tinggi Ekonomi Islam

Pada tataran teoritis dan konseptual, kita masih merasakan sangat kekurangan SDI yang benar-benar mendalami ilmu ushul fikih, fikih muamalah, qawa’id fikih dan sekaligus ilmu ekonomi keuangan modern. Figur seperti ini benar-benar langka bukan saja bagi masyarakat Islam di Indonesia melainkan juga di banyak negara termasuk negara lain yang perkembangan ekonomi Islamnya cukup pesat . Kebanyakan SDI LKS saat ini adalah mereka yang fasih berbicara tentang ilmu ekonomi keuangan kontemporer, tetapi awam dalam ushul fiqh atau fiqh muamalah. Sebaliknya banyak pakar yang mahir dalam Fikih dan Usul Fiqh tetapi kurang memahami (kalau tidak ingin mengatakan buta) tentang Ilmu Ekonomi Keuangan.

Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang ekonomi, bisnis dan hukum ekonomi syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. (SDI) ekonomi syari’ah,tidak boleh lagi bersifat bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini.

Sementara itu, lembaga pendidikan ekonomi keuangan syariah pada umumnya menghadapi sejumlah kendala dalam upaya mengembangkan kualitas. Kendala itu antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah, yang menguasai secara komprehensif ilmu ekonomi, keuangan sekaligus ilmu syariah, (2) keterbatasan dari segi kurikulum pengajaran, kurikulum belum berbasis kepada kompetensi, (3) belum ada linkage antara lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan Syariah, dan (4) keterbatasan dana dan SDM sehingga research dan laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas
Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka dibutuhkan lembaga pendidikan ekonomi syari’ah yang secara khusus menyiapkan SDI ekonomi syari’ah. Karena itu perlu adanya redesign tentang institusi kependidikan di Indonesia terutama di fakultas ekonomi dan syariah, agar dapat dihasilkan sarjana yang mempunyai skills tentang ekonomi syari’ah dan memiliki budi pekerti yang sesuai dengan syariah Islam dan applicable di sektor ekonomi.
Lembaga pendidikan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam menghasilkan SDM keuangan syariah yang berkualitas. Dalam pengembangan pendidikan ekonomi keuangan syariah di masa yang akan datang setidaknya ada lima aspek yang perlu mendapat perhatian serius,
Pertama, Set kurikulum yang tepat; mengkombinasikan mata kuliah yang memberikan pengetahuan profesionalitas ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis dan pengetahuan syariah (hukum & aplikasi) serta nilai-nilai moral (akidah & akhlak)
 Kedua Tersedia sarana dan fasilitas belajar yang memadai; matrikulasi bahasa, perpustakaan (literatur lengkap), laboratorium (bank, akuntansi dll)
 Ketiga, Staf pengajar yang kompeten dan berkualitas
 Keempat, Buku teks yang memadai (perpustakaan yang menyediakan buku dan litaratur ekonomi Islam)
 Kelima, Program pendukung seperti; magang, on-job training dsb.


Kualifikasi dan Standar SDM Ekonomi Syariah
• Memahami nilai-nilai moral dalam aplikasi fikih muamalah/ekonomi syariah
• Memahami konsep dan tujuan ekonomi Syariah
• Memahami konsep dan aplikasi transaksi-transaksi (akad) dalam muamalah ekonomi syariah
• Mengenal & memahami mekanisme kerja lembaga ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis syariah
• Mengetahui & memahami mekanisme kerja dan interaksi lembaga-lembaga terkait; - regulator, pengawas, lembaga hukum, konsultan – dalam industri ekonomi/keuangan/perbankan/ bisnis syariah
• Mengetahui & memahami hukum dasar baik hukum syariah (fiqh mumalah) maupun hukum positif yang berlaku
• Menguasai bahasa sumber ilmu, yaitu Arabic dan English






Perubahan Paradigma
Oleh karena karena banyak di antara praktisi bank syari’ah yang berasal dari bank konvensional, maka tidak aneh, jika sikap dan cara pikir yang mereka tampilkan dalam mengelola bank syari’ah masih diwarnai oleh sikap, cara pikir dan budaya bank konvensional. Harus dicatat, bahwa konversi menjadi bank syari’ah atau membuka unit usaha syari’ah, bukan hanya perubahan sistem perbankan itu sendiri, tatapi yang tak kalah pentingnya adalah perubahan paradigma, cara pikir dan sikap para direksi, kepala divisi dan seluruh karyawan bank syari’ah tersebut.
Dengan demikian, selain masih terbatas atau kurangnya dimensi keilmuan tentang ilmu syari’ah dan aspek teknisnya dari sisi kognitif, praktisi perbankan syari’ah juga masih lemah dari sisi sikap, jiwa dan mentalitas, seperti militansi dan komitmen kesyariahan yang kurang. Karena itu, praktisi perbankan syari’ah harus mampu merubah paradigma konvensional yang selama ini telah mendarah daging dalam pikirannya menjadi paradigma syari’ah. Dalam konteks ini, dibutuhkan penyesuai-penyesuian (adjusment) cara berpikir dan bersikap, sehingga tercipta budaya kerja yang betul-betul syari’ah.
Tanpa adanya perubahan, sehebat apa pun sebuah konsep, maka kehebatan perbankan syariah hanya sebatas teori belaka. Jika telah berniat hijrah menjadi bank syariah, seharusnya niat itu menjadi tekad bulat untuk menjadi syari’ah secara kaffah, bukan hanya nama lembaga syari’ah, tapi budaya dan sistem masih konvensional.
Selain itu, terdapat pula kecendrungan para CEO atau direktur eksekutif perbankan syariah yang merasa wajib mendapatkan fasilitas mobil mewah sekelas Mercedez Bens, seperti halnya eksekutif perbankan konvensional. Padahal, kita tahu volume bisnis perbankan syariah masih jauh di bawah perbankan konvensional. Kemewahan yang tidak perlu ini di samping tidak sesuai dengan nilai islami juga secara teknis menurunkan tingkat efisiensi usaha bank itu sendiri. Memang moto perusahaan perbankan syariah pada umumnya diambil dari nilai-nilai Islam, tetapi moto itu terasa kering dan selama ini hanya menjadi slogan kosong belaka.

Semboyan-semboyan itu terlihat kosong dari ruh Islam karena jauh dari niali-niali syari’ah. Kalau praktik ini terus berjalan dan sistem koreksi internal tidak terjadi maka tidak disangsikan lagi akan terjadi pembusukan nama Islam di lembaga-lembaga keuangan syariah. Sebagian menilai kondisi ini disebabkan karena yang terjadi di Indonesia adalah praktik keuangan syariah dan bukan keuangan Islam.Padahal keduanya sama saja.

Integrasi Syari’ah, Aqidah dan Akhlak
Islam mengandung akidah, syariah (fikih), dan akhlak. Di Indonesia, aspek syariahnya saja yang ditonjolkan, sementara aspek akidah dan akhlak terabaikan. Padahal, Allah telah membekali kita dengan petunjuk yang dibutuhkan manusia, baik itu berupa akidah, akhlak, maupun syariah untuk kita pergunakan secara optimal agar kita mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Ketiga unsur di atas tidak boleh dipisahkan oleh praktisi perbankan syari’ah. Aplikasi syari’ah (fikih muamalah) dalam perbankan, merupakan realisasi dari aqidah (tauhid). Seluruh perilaku praktisi harus mengamalkan nilai-nilai akhlak, sehingga terhindar dari moral hazard. Jika integrasi ketiga unsur ini tidak terwujud, maka tidak mustahil kasus-kasus bank konvensional, seperti kasus Bank Mandiri, Bank BNI, BRI, akan berjangkit ke bank-bank syari’ah.
Dalam konteks aqidah (tawhid), para pelaku perbankan syariah menyadari bahwa transaksi yang dilakukannya adalah aplikasi muamalah maliyah yang berdasarkan syari’ah, sehingga ia memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat. Adanya pembangunan SDI syariah yang memiliki dimensi dunia dan akhirat sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :

“Bukanlah sebaik-baiknya kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhiratnya, dan tidak pula orang-orang yang bekerja untuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk akhirat dan untuk dunia”

Pernyataan hadist Rasulullah dimaksud jelas menunjukkan adanya keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia serta hubungan antara manusia dan Allah SWT. Hadist tersebut juga secara implisit mengharuskan adanya keseimbangan yang harmonis antara faktor intelektual, emosional dan pendalaman spiritual (tauhid) bagi sumber daya insani perbankan syariah (lebih dikenal dengan Inteligent Quetion, Emotional Quetion dan Spiritual Question)
Secara aplikasi pengembangan sumber daya insani perbankan syariah diharapkan memiliki akhlak dan kompetensi yang dilandasi oleh sifat yang dapat dipercaya atau amanah, memiliki integritas yang tinggi atau shiddiq, dan senantiasa membawa dan menyebarkan kebaikan atau tabligh, serta memiliki keahlian dan pengetahuan yang handal atau fathonah.
GCG di Bank Syari’ah
Implementasi nilai-nilai luhur dan terpuji tersebut sangat mendukung penciptaaan Good Coorporate Governance(GCG) di bank-bank syari’ah. Implementasi GCG harus diterapkan terhadap komisaris, direksi, DPS, dan aparat pengawasan, baik internal maupun eksternal seperti akuntan publik maupun otoritas pengawas (Bank Indonesia). Dalam bank syariah, pelaksanaan good corporate governance (GCG) pada dasarnya bertumpukan kepada lima pilar utama yaitu transparency, responsibility, accountability, fairness dan independency. Kelima unsur ini seharusnya dilakukan sehingga merupakan budaya kerja yang islami, sebagaimana dikemukakan oleh Umer Chapra bahwa stakeholders utama keuangan Islam adalah islami itu sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya peningktan SDM bank syari’ah tidak hanya dari aspek kognitif, yaitu pembobotan keilmuan dalam bidang aspek teknis syari’ah dan hukum-hukum mumalah yang terkait di dalamnya, tetapi juga yang paling penting adalah jiwa dan ruh syari’ah, sepeti ghirah syari’ah, militansi syari’ah, idarah (pengelolaan), khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), akhlaq (moral), shiddiq (kejujuran) ijabiyah (berfikir positif), hurriyah (independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ’adalah (keadilan), tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), raqabah (pengawasan), qira’ah dan ishlah (organisasi yang terus belajar dan selalu melakukan perbaikan), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah (kecerdasan), tabligh ( transparansi, keterbukaan), ihsan (profesional) dan wasathan (kewajaran).
Unsur-unsur tersebut seharusnya menjadi sikap dan perilaku setiap insan perbankan syari’ah sehingga menjadi budaya kerja syari’ah. Jika SDM bank syari’ah telah menjadi syari’ah secara hakiki, bukan sekedar syari’ah simbolik/formalistik, maka sekali lagi ditegaskan, upaya mewujudkan GCG di bank syari’ah dengan sendirinya telah terwujudkan. Bila nilai-nilai tersebut dihayati dan diamalkan, maka masa depan bank syari’ah akan jaya dan gemilang dan itu jelas akan berimplikasi bagi kemakmuran bangsa secara menyeluruh dan di sinilah syari’ah menjadi rahmat bagi sekalian ummat manusia.
Selengkapnya...

Sponsor

Islamic Banking Bank Mandiri Syariah
BJB Syariah Pegadaian Syariah HSBC Amanah Bank DKI Syariah Cimb Niaga Syariah Bukopin Syariah Bank BTN Syariah BNI Syariah Al-Ijarah Bank BRI Syariah Bank Mandiri Syariah Takaful Bank Muamalat Jamkrindo BAZNAS Badan Wakaf Indonesia ASBISINDO Bank Sinar Mas Syariah ICDIF
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme